"Ayo nduk, diminum tehnya! Dicoba kuenya." timpal Nek Fitri.
Tentu saja tuan rumah sangat berharap Vania mau menginap di rumah mereka. Apalagi mereka jarang kedatangan tamu dari jauh. Setelah berbincang panjang lebar seharian, Vania merasa sangat akrab dan nyaman sehingga ia bersedia untuk menginap. Lagi pula besok hari Minggu, pikirnya.
Malam pun berlalu, Minggu pagi langit menyapa dengan membawa sebuah kejutan untuk Vania. Seorang lelaki dengan tas ransel besar di pundaknya mengucap salam di ambang pintu.
"Raka!"
Tak hanya Vania yang hampir mati berdiri, lelaki itu juga tak kalah terkejut mendapati Vania berada di rumah kakeknya.
"Kamu Van? Kamu kok bisa di sini?"
Kehadiran Nek Fitri dari arah dapur memotong percakapan keduanya. Nek Fitri pun terkejut sekaligus senang atas kedatangan Raka dari Jakarta, yang tiba-tiba tanpa mengabari sebelumnya. Sementara Vania, ia justru menghindar ke dalam kamar dan menangis meluapkan luka hatinya yang kembali terkuak di depan mata.
"Van.. sini nduk, ngobrol sama-sama di depan." terdengar lembutnya suara kakek Jodhi memanggil di depan pintu kamar.
Vania mengusap air matanya dan berusaha mengatur wajahnya untuk ke luar dari kamar. Ia lantas menyusul keberadaan beliau.
"Ternyata kalian sudah saling kenal, to? Raka ini lagi cuti, Van. Nanti jalan-jalan saja sama Raka."
Vania membulatkan kedua matanya, mendengar ucapan tersebut. Ia dan Raka saling menatap, tersirat sisa kebencian di mata Vania yang membuat Raka kembali merasa bersalah.