Dengan nada yang lebih rendah, Rani kembali bicara, "Kalau bagi kamu, aku ini salah, aku minta maaf. Aku ngga pernah berniat jahat sama Pak Erman. Satu lagi, aku sama sekali ngga tau kalau dia itu papa kamu."
Arfan masih memperhatikan wajah Rani yang kini terlihat kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dengan suara parau, Rani melanjutkan ucapannya.
"Dulu aku selalu tunggu kamu ngomong duluan. Aku kira, kamu suka sama aku. Tapi ternyata sekian lama, kamu ngga peka. Kamu ngga bisa merasakan perasaan aku. Sampai akhirnya kita menjauh. Aku juga ngga tau apa salah aku, sampai kamu ngga pernah hubungin aku lagi. Dan terakhir aku sms, kamu juga ngga jawab."
"Kamu serius mau nikah sama papa?"
Rani mengangguk, "Hmm! Aku nyaman di dekatnya."
Arfan hanya dapat menghela nafas dan menurunkan tangannya yang sejak tadi masih menggantung ke dinding. "Oke. Aku ngga akan ikut campur hubungan kalian."
Wanita itu tersenyum tipis dan mulai melangkah pergi, menjauh dari tubuh Arfan yang masih mematung. Ruang dalam hati lelaki itu seketika hancur.Â
Ia menyesal, mengapa baru hari ini ia dapat melihat sejuta ketulusan tersirat dalam kedua mata Rani. Seandainya saja, dulu ia tidak membuang waktu untuk terus menduga-duga, pasti Rani tak kan pernah jatuh di pelukan papanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H