Sebelas tahun lalu seorang teman mengenalkan Arfan kepada Rani. Sejak perkenalan hari itu, keduanya berteman dekat dan semakin dekat hingga saling jatuh cinta. Tapi bodohnya, kedua orang itu hanya dapat saling memendam.
Arfan selalu saja tidak percaya diri untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Rani. Begitupun Rani, gadis itu tak pernah mau mengatakan lebih dulu.Â
Dalam diamnya ia berharap semoga Arfan merasakan hal yang sama. Rani hanya dapat menunggu dan terus menunggu kapan tiba waktunya lelaki itu menembaknya.
Padahal tidak ada alasan yang tepat untuk Arfan harus merasa tidak percaya diri. Mengingat saat itu dirinya telah berstatus karyawan tetap dengan posisi yang aman. Tentu saja penghasilannya juga aman. Tampangnya juga tidak pas-pasan, bisa dibilang enak dilihat.
Sedangkan Rani, ia juga bukan gadis yang cantik-cantik banget. Ia juga berasal dari keluarga sederhana, yang taraf ekonominya masih di bawah keluarga Arfan.Â
Pekerjaan Rani ialah mengasuh dan menjaga seorang anak usia sekolah dasar, yang kedua orang tuanya sibuk bekerja. Maka harusnya, Arfan tak perlu minder untuk segera menembak Rani.
Tapi rupanya, Arfan punya alasan sendiri mengapa ia tak kunjung menembak Rani. Arfan punya rasa trauma dalam menjalani sebuah hubungan.Â
Sebelum berkenalan dengan Rani, ia pernah ditinggal menikah hingga yang terakhir kali ia pernah cuma dimanfaatkan secara materi oleh mantan kekasihnya.
Arfan takut kalau suatu hari Rani yang tampak baik hati itu berubah dan menunjukkan wajah aslinya yang ternyata materialistis.Â
Tapi semua itu hanya dugaannya semata. Dan jelas, itu dugaan yang salah karena sesungguhnya Rani benar-benar gadis yang tulus dan tidak pernah macam-macam.
Akhirnya hubungan pertemanan itu kian memudar. Keduanya semakin enggan untuk memulai komunikasi, mereka telah menjauh hingga akhirnya kini sama sekali tak pernah saling mengabari lagi. Mereka berada pada jalannya masing-masing.
Sekian lama tak mendengar kabar Arfan, tak lantas membuat Rani melupakan lelaki itu begitu saja. Meski kini Rani sedang menjalin kasih dengan seorang pria yang sudah jauh lebih tua. Rani yang berusia tiga puluh lima tahun dengan duda ditinggal mati, yang berusia dua puluh lima tahun lebih tua darinya.
Bukan karena materi, tapi Rani menemukan sosok pria yang dermawan, penuh kehangatan dan mampu mengayomi dirinya. Meski cinta belum tumbuh mekar di hati Rani, tapi ia telah merasa nyaman di sisi pria itu. Pria yang selalu mengatakan bahwa dirinya mencintai Rani.
Suatu hari pria yang bernama Erman itu, berniat mengenalkan Rani kepada keempat orang anaknya. Beliau pun mengundang keempat anak serta mantunya untuk makan siang bersama pada hari Minggu yang tampak mendung itu.
Agenda perkenalan Rani dan makan siang bersama telah berjalan dengan lancar. Erman mengenalkan Rani sebagai calon yang akan mendampinginya di sisa usianya itu. Anak-anak serta menantu telah menerima kehadiran Rani dengan hati terbuka.Â
Mereka senang dapat berbincang dan tertawa bersama Rani. Kecuali satu, anak tertua Erman yang merasa tak senang dengan kehadiran Rani di tengah keluarga mereka. Dan mencari celah waktu dirinya dapat menarik tubuh Rani untuk bicara empat mata.
"Kamu masih waras, Ran? Apa maksud kamu pacarin papa aku?"
"Hah? Papa kamu yang duluan deketin aku. Semenjak kenalan di acara amal di sekolah itu, papa kamu duluan yang hubungin aku."
"Harusnya kamu ngga perlu tanggepin! Emang dasar kamu ada maksud kan?"
"Maksud apa? Aku nanggepin papa kamu karena aku tau dia orang yang baik, tulus, butuh teman ngobrol. Aku ngga pernah bermaksud apapun. Lagi pula sekarang kamu udah punya keluarga sendiri, kamu ngga perlu ikut campur dalam hubungan aku dan papa kamu."
Mendengar semua ucapan Rani, Arfan mengepalkan tangannya dan meninju dinding di balik tubuh Rani. Lelaki itu kehabisan kata, kedua matanya membulat menatap kedua mata wanita yang ada di hadapannya kini.
Dengan nada yang lebih rendah, Rani kembali bicara, "Kalau bagi kamu, aku ini salah, aku minta maaf. Aku ngga pernah berniat jahat sama Pak Erman. Satu lagi, aku sama sekali ngga tau kalau dia itu papa kamu."
Arfan masih memperhatikan wajah Rani yang kini terlihat kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dengan suara parau, Rani melanjutkan ucapannya.
"Dulu aku selalu tunggu kamu ngomong duluan. Aku kira, kamu suka sama aku. Tapi ternyata sekian lama, kamu ngga peka. Kamu ngga bisa merasakan perasaan aku. Sampai akhirnya kita menjauh. Aku juga ngga tau apa salah aku, sampai kamu ngga pernah hubungin aku lagi. Dan terakhir aku sms, kamu juga ngga jawab."
"Kamu serius mau nikah sama papa?"
Rani mengangguk, "Hmm! Aku nyaman di dekatnya."
Arfan hanya dapat menghela nafas dan menurunkan tangannya yang sejak tadi masih menggantung ke dinding. "Oke. Aku ngga akan ikut campur hubungan kalian."
Wanita itu tersenyum tipis dan mulai melangkah pergi, menjauh dari tubuh Arfan yang masih mematung. Ruang dalam hati lelaki itu seketika hancur.Â
Ia menyesal, mengapa baru hari ini ia dapat melihat sejuta ketulusan tersirat dalam kedua mata Rani. Seandainya saja, dulu ia tidak membuang waktu untuk terus menduga-duga, pasti Rani tak kan pernah jatuh di pelukan papanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H