Sudah empat tahun ini Alan dan Dania berteman baik, sejak perusahaan tempat Alan bekerja menjalin kerjasama dengan perusahaan yang mempekerjakan Dania.
Tentu saja awalnya hanya seputar pekerjaan yang mereka perbincangkan, meski sesekali terselip kalimat candaan di dalamnya. Lama-kelamaan, keduanya merasa klop juga dan dapat saling mengerti. Maka tak heran, jika hubungan baik itu masih terjaga hingga kini.
Terlepas dari pekerjaan, sesekali keduanya nongkrong bareng di kafe. Mereka juga sudah saling percaya. Bahkan Alan tak segan memberitahu pada Dania perihal satu rahasia kecil yang ia simpan selama ini. Yaitu tentang perasaannya kepada Amanda, teman Alan semasa kuliah dulu.
Alan mengatakan bahwa dirinya sudah sejak lama menyukai Amanda. Namun, Alan merasa kalau dirinya tidak dianggap spesial oleh Amanda. Padahal Alan sudah sering memberikan perhatian lebih kepada wanita itu. Mungkin Amanda tidak peka atau memang ia tidak punya perasaan apapun kepada Alan. Selain hanya sebatas teman. Maka itu, Alan tak pernah berani terang-terangan menyatakan perasaannya di hadapan Amanda.
Dan sayangnya selama ini Alan juga tidak menyadari, bahwa setiap kali dirinya membahas tentang Amanda di hadapan Dania, wajah ceria wanita itu sekejap redup dan tenggelam. Alan tak pernah tahu bahwa sesungguhnya Dania terluka. Jika Amanda adalah rahasia bagi Alan, maka Alan adalah rahasia bagi Dania.
"Oya Dan, sekarang si Amanda udah mulai beda lho ke gue."
"Beda gimana?"
"Dia lebih banyak ngobrol. Biasanya kan, kalau gue tanya apa-apa jawabnya singkat. Terkesan ngga mau diganggu. Tapi sekarang, dia selalu balik tanya. Terus... banyak cerita juga soal kerjaannya."
Dania menghela nafas, ia hanya dapat berkata, "Oh... Bagus dong!"
Tampaknya suasana hati Dania mulai tak dapat dikendalikan. Rasanya sedih, kesal dan yang pasti sangat cemburu. Ia takut tak dapat lagi menyembunyikan perasaannya di hadapan Alan, maka Dania menyudahi saja pertemuan mereka di Minggu sore itu. Dengan alasan yang dibuat-buat, Dania pamit lebih dulu meninggalkan Alan yang masih duduk dengan setengah gelas ice cappucinonya.
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Dania terus memikirkan ucapan Alan tadi. Ia takut, bagaimana kalau nanti Amanda mau menerima cinta Alan. Ia tak ingin hal itu terjadi. Ia tak mau kehilangan Alan, sungguh ia tak sanggup membayangkannya. Tapi ia juga tak tahu, apa yang harus dilakukannya untuk mencegah semua itu terjadi.
Hampir satu minggu berlalu, Sabtu siang hari itu hujan turun cukup deras. Jam kerja hari ini telah usai, hanya saja Dania belum beranjak dari ruang kerjanya. Wanita itu sedang memandangi hujan dari balik jendela. Namun deringan ponselnya, sukses membuyarkan segala lamunannya. Ternyata Alan yang memanggil.
"Di mana, Dan?"
"Masih di kantor, nunggu hujan reda."
"Lo ngga ada acara kan? Gue jemput ya!"
"Jemput? Hmm... Ya udah, gue tunggu."
Setengah jam kemudian, keduanya pun telah duduk bersama. Hujan deras juga telah berganti dengan gerimis yang sendu. Kemacetan lalu lintas pun tak terhindarkan. Alan dan Dania saling terdiam, hanya terdengar lagu Cinta Pertama dan Terakhir milik Sherina yang diputar dari radio tape mobil.
"Apa sebaiknya gue buru-buru tembak........"
"Stop! Sebelum lo tembak Amanda, apa... Apa lo mau pacaran sama gue? Sehari... aja. Cuma sehari, Lan."
Lelaki itu membulatkan kedua matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Berkali-kali ia memastikan bahwa dirinya tidak salah mendengar. Karena Dania terlihat tidak main-main, maka Alan pun bersedia menjadi kekasih Dania untuk satu hari saja.
Keesokan harinya, mulai Minggu pagi ini Alan dan Dania akan menghabiskan waktu bersama sebagai sepasang kekasih. Mereka pun bergandengan tangan, jalan-jalan ke mall, nonton film di bioskop, makan bersama, tertawa bersama, bahkan sempat bertengkar karena sebenarnya kedua orang itu sama-sama punya sifat keras kepala.
Tak tega melihat wajah murung Dania, akhirnya Alan mengalah. Mereka pun berbincang dan tertawa kembali seolah tak terjadi pertengkaran sebelumnya.
Andai dapat mengulur waktu, Dania tak ingin hari ini cepat berlalu. Tapi siapa yang mampu melakukan itu? Melambatkan atau bahkan menghentikan waktu. Kini keduanya sedang sibuk makan malam, setelah petang hari tadi bersama-sama menyaksikan romansa awan berkabut jingga di tepian danau.
Waktu menunjukkan hampir jam sebelas malam ketika mereka sampai di depan rumah Dania.
"Makasih banyak ya Lan, untuk hari ini. Aku bener-bener berterima kasih banget sama kamu, udah mau ngertiin aku. Mau jadi pacar aku hari ini. Semoga nanti... saat kamu nembak dia, dia mau nerima kamu. Hehe."
Ada senyum yang dipaksakan di akhir kalimat Dania. Sedangkan Alan masih terdiam dalam bimbang dan tenggelam dalam rasa tak ingin pisah.
"Dania... Aku ngga mau cuma sehari. Aku mau seterusnya. Seterusnya jadi pacar kamu. Sampai nanti dan mungkin selamanya, aku pingin selalu ada untuk kamu. Melindungi kamu dan... anak-anak kita."
Hanya air mata bahagia dan senyuman tipis yang mampu terlukis di wajah wanita itu. Memandang lelakinya dengan anggukan pasti, sebagai jawaban atas kalimat yang baru saja didengarnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H