Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Andai Oktober Tak Pernah Ada

11 Februari 2024   08:15 Diperbarui: 12 Februari 2024   20:35 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

Laura terduduk lesu, menangis di samping pusaranya. Gadis itu masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa kini dirinya telah terbaring di dalam sana. Laura belum ingin mati. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya di dunia.

Sesosok lelaki bertongkat dengan tampilan serba hitam, melangkah kian mendekat padanya. Dengan sopan lelaki itu pun melepas topinya sambil sedikit membungkuk dan mulai menyapa.

"Permisi Nona."

Tentu saja Laura terkejut, ia pun mendongak menatap wajah lembut lelaki itu. "Kamu malaikat?"

"Bukan, Nona." seraya menggeleng dan tersenyum, "Saya hanya utusan dari penguasa alam. Saya diutus untuk menghentikan air mata Anda."

"Aku belum mau mati, Paman."

"Saya tahu, Nona. Tapi menyelamatkan laki-laki itu sudah menjadi pilihan Anda. Harusnya Anda memikirkan akibatnya sebelum melakukan itu."

"Aku cuma ingin menolongnya. Sekalipun dia bukan laki-laki yang ku sukai. Siapapun yang ada di posisi itu, aku pasti akan menolongnya."

Baca juga: Malaikat di Rumahku

"Hmm... Saya tahu, Nona. Anda memang selalu peduli pada orang lain. Bahkan Anda tidak memikirkan keselamatan Anda sendiri."

"Paman, bisakah aku bertemu dengannya? Aku ingin melihat Rey dan juga keluargaku untuk terakhir kalinya. Bisakah aku berada di dekat mereka sampai aku bisa menerima keadaanku sekarang?"

Lelaki itu mengangguk, "Tentu Nona. Tapi, hanya tiga hari. Anda tidak bisa menawar waktu. Dan jangan berharap mereka dapat melihat keberadaan Anda. Anda sudah berbeda alam dengan mereka, Nona."

"Tiga hari? Lalu setelah tiga hari.....?"

"Anda harus kembali untuk ikut dengan Saya. Untuk menyelesaikan urusan Anda dengan Sang penguasa alam. Dan pada saat itu, Saya harap Anda sudah lebih tenang dan menerima kenyataan."

Laura mengangguk, tanda setuju pada ucapan lelaki itu. Ia pun segera berlari setelah dipersilahkan pergi, memanfaatkan kesempatan yang diberikan.

Dalam waktu yang singkat, Laura harus dapat membagi waktunya untuk menemui Rey dan keluarganya sendiri dalam tiga hari ini. Dan pada hari pertama, langkah sendu itu membawanya menemui Rey. Lelaki yang sangat disukainya namun belum pernah dimilikinya selama hidup.

"Walau kita ngga bisa sama-sama, setidaknya kamu tau Rey, aku sayang..... banget sama kamu." ucap Laura seraya memandangi wajah Rey yang sedang menunduk, membaca sesuatu di meja kerjanya. "Aku seneng kok, bisa nyelametin kamu. Aku ngga marah sama kamu, Rey. Karena kejadian itu, akhirnya kamu tau kan, kalau Tita bukan perempuan yang baik? Dia mau bunuh kamu, Rey. Dia mau tabrak kamu. Sebenarnya dia ngga pernah mau dijodohin sama kamu."

Seolah dapat merasakan kehadiran Laura di sisinya, Rey menghela nafas. Lelaki itu membuka ponselnya, jemarinya menuju tempat dimana banyak foto-foto tersimpan di sana. Pandangan Laura pun ikut tertuju kepada layar ponsel itu. Laura tersentak mendapati Rey memandangi sebuah foto yang tak lain adalah dirinya. Rey memandang foto Laura dan mengucapkan kata maaf berkali-kali hingga menitihkan air mata.

"Maafin aku, Laura. Harusnya kamu ngga perlu nyelametin orang bodoh kayak aku."

"Ngga Rey, ngga... Kamu ngga perlu minta maaf, bukan salah kamu. Kalau waktu itu aku ngga ada di sana, mungkin kamu yang udah mati ditabrak sama Tita." percuma saja Laura bicara, toh si Rey tidak bisa mendengar ucapannya.

Seharian ini Laura terus mengikuti ke mana pun Rey melangkah. Kecuali, saat Rey masuk ke dalam kamar mandi. Laura tidak segila itu membuntuti Rey. Dan hari ini Laura jadi tahu, bahwa Rey sangat merasa bersalah telah menjadi penyebab kematian dirinya.

Di hari kedua, Laura menghampiri satu persatu anggota keluarganya. Ia hanya dapat menangis, memandangi wajah-wajah itu dan tetap memohon maaf kendati ucapannya tak kan pernah bisa didengar lagi. Sekaligus mengucap kalimat perpisahan yang menyayat hati.

Karena di hari terakhirnya mengunjungi dunia, Laura hanya ingin mengisinya bersama Rey. Hingga tibalah waktunya semburat jingga mewarnai langit, Rey masih berdiri di balkon tempat tinggalnya memandang sendu kepada langit. Sungguh Laura tak dapat menebak apa yang sedang berada dalam pikiran Rey saat ini.

"Aku seneng Rey, hari ini kita bisa sama-sama lagi. Makasih banyak ya, dulu udah pernah luangin banyak waktu, jadi teman ngobrol aku. Seandainya bulan Oktober waktu itu kita ngga pernah kenalan, apa mungkin di bulan yang lain kita akan tetap ketemu? Seneng rasanya bisa kenal kamu. Aku pamit ya Rey. Aku harap kamu dipertemukan dengan perempuan yang jauh lebih baik dari Tita. Aku juga lega setelah tau Tita udah bertanggung jawab atas kematian aku."

Tiba-tiba Rey menghela nafas, lelaki itu berbicara pada dirinya sendiri. "Aku akan berusaha untuk berhenti menyalahkan diri aku sendiri, Ra. Maafin aku yang ngga pernah bisa jujur. Bahkan sampai kamu pergi, kamu ngga tau kalau aku juga sayang sama kamu. Lebih dari sekedar teman. Aku cuma ngga mau kamu berharap lebih, karena... perbedaan keyakinan kita. Udah jelas kita ngga mungkin bisa sama-sama."

Laura tertegun, tak percaya dengan apa yang barusan saja didengarnya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tangis haru bersamaan tawa kecil sejenak terlukis di wajah pucat Laura.

"Aku harap, kamu selalu bahagia di sana Ra."

"Nona Laura, kita pergi sekarang."

Suara itu lantas membuat Laura terkejut, lelaki utusan penguasa alam telah sampai di balik tubuhnya. Gadis itu pun berbalik, menoleh kepadanya. Laura menghapus air mata dan berusaha sekuat hati untuk tersenyum. Dan ia pun mengiyakan ajakan itu. Kemudian pamit untuk pergi selamanya.

"Aku pergi, Rey."

Di bawah langit yang mulai menghitam, kedua makhluk tak kasatmata itu lenyap, berterbangan menyisakan kepulan asap tipis. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun