Karena di hari terakhirnya mengunjungi dunia, Laura hanya ingin mengisinya bersama Rey. Hingga tibalah waktunya semburat jingga mewarnai langit, Rey masih berdiri di balkon tempat tinggalnya memandang sendu kepada langit. Sungguh Laura tak dapat menebak apa yang sedang berada dalam pikiran Rey saat ini.
"Aku seneng Rey, hari ini kita bisa sama-sama lagi. Makasih banyak ya, dulu udah pernah luangin banyak waktu, jadi teman ngobrol aku. Seandainya bulan Oktober waktu itu kita ngga pernah kenalan, apa mungkin di bulan yang lain kita akan tetap ketemu? Seneng rasanya bisa kenal kamu. Aku pamit ya Rey. Aku harap kamu dipertemukan dengan perempuan yang jauh lebih baik dari Tita. Aku juga lega setelah tau Tita udah bertanggung jawab atas kematian aku."
Tiba-tiba Rey menghela nafas, lelaki itu berbicara pada dirinya sendiri. "Aku akan berusaha untuk berhenti menyalahkan diri aku sendiri, Ra. Maafin aku yang ngga pernah bisa jujur. Bahkan sampai kamu pergi, kamu ngga tau kalau aku juga sayang sama kamu. Lebih dari sekedar teman. Aku cuma ngga mau kamu berharap lebih, karena... perbedaan keyakinan kita. Udah jelas kita ngga mungkin bisa sama-sama."
Laura tertegun, tak percaya dengan apa yang barusan saja didengarnya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tangis haru bersamaan tawa kecil sejenak terlukis di wajah pucat Laura.
"Aku harap, kamu selalu bahagia di sana Ra."
"Nona Laura, kita pergi sekarang."
Suara itu lantas membuat Laura terkejut, lelaki utusan penguasa alam telah sampai di balik tubuhnya. Gadis itu pun berbalik, menoleh kepadanya. Laura menghapus air mata dan berusaha sekuat hati untuk tersenyum. Dan ia pun mengiyakan ajakan itu. Kemudian pamit untuk pergi selamanya.
"Aku pergi, Rey."
Di bawah langit yang mulai menghitam, kedua makhluk tak kasatmata itu lenyap, berterbangan menyisakan kepulan asap tipis. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H