Hari demi hari telah aku lalui.Â
Tak seharipun terlewatkan air mata ini jatuh karena mengingatmu.Â
Aku tak mengerti, mengapa aku mengalami ini semua. Â
Sakit yang begitu hebat. Sakit yang obatnya tak bisa kubeli. Â
Bahkan uangpun tak bisa membelinya.Â
Yang kurasakan saat ini, aku takut kehilanganmu. Â Tapi sungguh apa memang sebenarnya aku memang telah kehilangan kamu.Â
Aku mencoba untuk tetap tegar. Â
Menyikapi jalan yang telah kupilih.Â
Aku mencoba terus melangkah dengan mendekap sekeping hati yang harus kujaga. Â Aku tak tahu, apakah hati ini masih akan utuh?Â
Meski diterpa sakit kehancuran yang tak terlihat tapi rasanya sangat pilu. Â
Tubuhku telalu dingin bersimbah air mata yang setiap malam meratap dengan sejuta makna.Â
Sejuta makna yang kusendiri tak mampu menjabarkannya.Â
Tak ada yang menginginkan dalam posisi ini, Â aku tahu. Â
Aku mungkin manusia bodoh.Â
Yang belum bisa melesat maju.Â
Secepat laju bibir ini memutuskan.Â
Namun mundur juga bukanlah pilihan. Â Setidaknya, aku menepati perkataanku untuk selalu berusaha. Â
Meski air mata selalu menjadi pelipurku saat ini. Â Setidaknya air mata itu mengalir satu arah menuju tujuannya.
Dan begitu pula harapku bertahan. Berusaha. Â
Setidaknya ada keadilan, Â dan janji Tuhan yang pasti ditunaikan, Â air mata ini akan bermuara pada kebahagiaan. Â
Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H