Mohon tunggu...
Novia Elga
Novia Elga Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Call Me Novia. Sedang menjelajahi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Lingkungan Kerja yang Nyaman adalah Rejeki

7 November 2024   12:19 Diperbarui: 10 November 2024   21:04 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Lingkungan Kerja. (Sumber: Shutterstock.com via kompas.com)

Guru muda saat ini selalu dituntut untuk banyak inovasi. Mampu multi tasking, di era gempuran murid Gen Z yang kritis. Namun, dari segala persoalan tentang pembelajaran di dalam kelas ada hal yang benar-benar menjadi tantangan bagi individu guru muda. 

Mungkin guru senior menganggap guru muda terlalu idealis, mengedepankan norma yang berlaku dianggap sebagai anak kemarin sore yang belum mengerti kehidupan. 

Tapi itulah kami, manusia yang lebih berfikir kritis yang apabila leha-leha menjadi sebuah ancaman. Melihat sesuatu yang salah harus dibenarkan, namun semua itu hanya dianggap bualan semata. 

Lingkungan kerja yang nyaman adalah rejeki bagi guru muda kelahiran 90 an. Saat ini beban berat pekerjaan yang dijalankan bukan lagi menjadi hambatan yang perlu dihindari. 

Kami sudah kuat, sudah terbiasa dengan berbagai jobdesk di luar "nurul" yang diberikan. Tapi kalau sudah berbicara lingkungan kerja, hal itu sudah sangat riskan. 

Hal ini dibentuk dari orang-orang yang ada di dalam suatu lembaga atau gedung. Apabila mereka kompak, maka lembaga tersebut akan maju. 

Guru muda pun akan berkembang. Sebaliknya, apabila lingkungan pekerjaan sudah toxic maka kami pun akan ikut terpengaruhi dalam bekerja.

Toxic ini bukan sekedar hal remeh yang dikenal oleh anak muda ketika berpacaran. Namun sudah menyangkut kebijakan yang dilahirkan, sikap terhadap bawahan, dan yang paling parah adalah hubungan yang tidak seharusnya ada dengan bawahan. 

Apa karena saya "anak baru kemarin sore" makanya hal-hal seperti ini saya anggap penyimpangan?

Apa karena saya "terlalu idealis" sehingga hubungan tidak wajar seperti ini dianggap hal lumrah dalam dunia pendidikan?

Mungkin saya bisa menganggap wajar jika hubungan tidak wajar tersebut dilakukannya di luar, seperti dengan non guru mungkin, atau karena ada permasalahan internal yang saya tidak perlu tau. 

Wajar jika kegiatan yang tidak benar tersebut tidak mempengaruhi kebijakan dan lingkungan kerja. Namun jika sudah menyangkut ke dalam kondisi sekolah yang tidak efektif bagaimana?

Tidak semua merasakan hal tersebut mungkin, tetapi sebagai guru muda perempuan. Permasalahan ini sangat meresahkan. 

Lingkungan kerja yang buruk tidak lagi berada di luar sana akan tetapi di lembaga yang sangat penting yaitu pendidikan. Apakah saya salah jika ingin memiliki lingkungan kerja yang saling mendukung? Siapakah yang salah? 

Siapa yang bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang solid dan supportif?

Siapa yang harus membangun lingkungan kerja menjadi lebih kondusif?

Siapa yang harus memulai dahulu untuk memperbaiki lingkungan kerja yang tidak normal ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun