"Maaf. Aku nggak bisa mencintai seseorang yang masih tinggal di masa lalunya." Ia masih mencoba untuk menguatkan dirinya.
"Sa.." Ia mencoba untuk memegang tangan wanita itu.
"Cukup!" Ia mengelak tangan lelaki yang sedang mencoba meraihnya kembali.
"Aku memang salah karena belum bisa keluar dari ruangku yang dulu." Ia kembali menunduk.
"Kamu Gila Panji. Mengapa kamu datang dan mengenalkan dirimu di hadapan kedua orang tuaku. Kenapa kamu harus menyakiti aku! Dengan persiapan pernikahan kita yang sudah hampir 100 % ini. Sungguh! Kamu Gila!" Ia mengumpat lelaki di hadapannya.
"Maafkan Aku Sa.. Aku benar-benar nggak bisa.." Ia menunduk kembali.
"Kamu hanya perlu membicarakan ini ke kedua orang tuaku." Ia mencoba melangkahkan kakinya lebih jauh dari lelaki itu.
"Jangan pergi, kita akan tetap menikah." Ia meraih tangan wanita itu.
"Tidak." Wanita itu pergi
Kali ini ia benar-benar menangis. Ia bahkan tak peduli dengan orang yang ada di sekitarnya. Tangannya gemetar. Bahkan ia tak percaya bahwa harus menerima dan berhubungan dengan lelaki yang pada akhirnya akan menyakitinya sekejam ini. Tidak dapat melupakan masa lalunya dalam waktu sebulan sebelum menikah.
Move on memang tidak berarti harus melupakan. Namun, jika lelaki itu masih belum beranjak dari ruang yang sudah lalu, mengapa ia harus menciptakan ruang yang baru? Melupakan memang tak semudah itu, tapi bukan berarti ia harus menyakiti wanita lain setelah lama waktu berlalu. Menikah dengan orang yang masih tinggal di masa lalunya adalah sebuah hal yang sia-sia.