Dari dua hal sederhana tersebut, terdapat sikap negatif yang masih sering dilakukan. Salah satunya adalah tingginya pemikiran egois ("maaf") dari setiap individu. Mengapa dikatakan egois ? Karena egois itu muncul bersamaan dengan sikap gengsi ("terima kasih") yang tinggi. Terdapat beberapa hal yang membuat egois itu muncul, diantaranya tidak mau disalahkan, tidak mengakui kesalahan, dan menyalahkan orang lain. Kemudian beberapa hal yang membuat sikap gengsi muncul, seperti tidak mau menghargai orang lain, tidak memiliki rasa simpati sedikit pun, dan tingginya rasa sombong. Sebab ketika mengakui apa yang sebenarnya terjadi, kita akan mendapatkan penilaian positif (memiliki kepribadian yang baik) dari orang lain.
   Mengungkapkan rasa "terima kasih" merupakan suatu bentuk memberi salam yang sering kita gunakan, dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menyampaikan ungkapan "terima kasih", harus disampaikan dan disesuaikan dengan situasi yang sedang terjadi. Ungkapan ini biasanya ketika kita menerima suatu bentuk kebaikan dari orang lain. Uniknya kebaikan ini tidak dibatasi oleh apapun. Misalnya, kebaikan dalam bentuk bantuan, dan juga pemberian suatu barang yang memiliki nilai bermakna bagi penerimanya. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak di sadari bahwa sebenarnya kita telah melakukan hal-hal kecil. Contohnya, ketika orang tua meminta bantuan kita untuk minta tolong diambilkan pakaian di lemarinya, otomatis kita sebagai anak akan membantu mereka, dan pada akhirnya mereka mengucapkan kata "terima kasih".
   Selain mengucapkan, "terima kasih" memiliki beberapa konsep dengan menggunakan bahasa tubuh. Misalnya, ketika kita mengucapkan "terima kasih" biasanya sambil menganggukan kepala, yang berarti kita setuju dengan apa yang dikatakan seseorang. Kemudian, ketika mengatakan "terima kasih" sambil mengangkat tangan, artinya ada penolakan dengan sopan dari lawan bicaranya. Yang terakhir, yaitu ketika mengucapkan "terima kasih" sambil marah-marah dan disertai dengan kata-kata yang tidak sopan, berarti orang tersebut sedang menyindir lawan bicaranya. Selain itu, ungkapan "terima kasih" biasanya disertai dengan ekspresi wajah, yang menunjukkan ketulusan dan kesopanan terhadap orang yang membantunya. Jadi, mengungkapkan rasa "terima kasih" dapat melalui ucapan, gerakan berjabat tangan, menganggukan kepala, dan senyuman.
   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) "terima kasih" berarti mengucap syukur, melahirkan rasa syukur atau membalas budi, setelah menerima kebaikan dan sebagainya. Dalam masyarakat Indonesia sendiri, ungkapan rasa "terima kasih" dibedakan dengan melihat keformalannya. Ada beberapa variasi-variasi kata dalam "terima kasih" diantaranya "makasih" dan "trims". "Makasih" diungkapkan dalam situasi yang informal, karena adanya kedekatan seseorang dengan lawan bicaranya. Sedangkan "trims" intinya hampir sama dengan "makasih", namun seseorang disini mempunyai kedudukan di bawah pembicara. Tetapi orang Indonesia sendiri lebih suka untuk mengatakan kata "terima kasih" secara eksplisit.
   Pembahasan berikutnya mengenai kata "maaf" yang sering diucapkan setiap harinya. Tidak semua orang dapat memaafkan orang lain secara tulus, dan melupakan kesalahan seseorang begitu saja. Menurut Droll (1984) menyatakan bahwa memaafkan merupakan bagian dan kemampuan seseorang melakukan komunikasi interpersonal. Karena mengucapkan "maaf" adalah suatu bentuk budaya kita sehari-hari, dalam proses interaksi sosial. Masih banyak individu yang mengucapkan "maaf" namun tidak disertai ketulusan, tetapi hanya melalui ucapan saja. Oleh karena itu, kedua belah pihak disini ketika mengucapkan kata "maaf" sama halnya membuka lembaran baru, supaya melupakan yang sudah berlalu, dan tetap menjalin hubungan baik.
   Zechmeister dan Romero (2002) menyatakan bahwa pemaafan sering diberikan oleh korban karena dituntut memenuhi peran sosial dalam masyarakat. Dalam sudut pandang korban, dapat memberikan "maaf" karena kita semua adalah makhluk sosial, dan pastinya kita memiliki moral yang tinggi. Sehingga jika kita melakukan "maaf" secara tidak langsung mendapat penghargaan dari orang yang telah menyakiti kita, dan tanpa disadari menghalangi keinginan seseorang untuk balas dendam. Alternatif lain untuk menghindari rasa sakit hati selain "maaf" adalah melupakan. Namun menurut Smedes (1984), melupakan kesalahan yang menyakitkan merupakan cara yang berbahaya, karena berarti melarikan diri dari masalah yang dialami. Sebab memberikan "maaf" bukan berarti melupakan, tetapi memberi kesempatan kembali untuk seseorang.
   Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemberian "maaf" seperti empati. Sehingga ketika kita berempati, seseorang dapat ikut merasakan perasaan orang lain, yang kemudian termotivasi untuk memaafkannya. Berikutnya kualitas hubungan, artinya seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain, dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Oleh karena itu, akan melalui proses "maaf" kepada sesama seperti meredakan kebencian. Kebencian adalah respon alami seseorang terhadap sakit hati yang mendalam, dan kebencian yang memerlukan penyembuhan. Sehingga kita membutuhkan kesabaran yang besar dan tentunya didukung oleh lingkungan sekitar, agar terhindar dari rasa kebencian.
Penutup/Simpulan  Â
   Meskipun kita terkadang merasa sulit untuk mengatakan "terima kasih" dan "maaf", hal itu merupakan pilihan dari setiap individu. Semua butuh proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Namun kita harus tahu apa konsekuensi dibalik hal sederhana tersebut. Konsekuensi itu ada karena kita merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan, baik dalam hal kecil maupun hal besar. Membiasakan diri untuk mengucapkan "terima kasih" dan "maaf" merupakan salah satu bentuk menghargai sesama individu.
   Orang Indonesia mengungkapkan "terima kasih" dengan sikap yang tulus dan terlihat sopan dengan gerakan mengangguk, berjabat tangan, dan senyuman. Ungkapan rasa terima kasih dalam Indonesia kebanyakan diungkapkan secara eksplisit. Hal ini ketika mengucapkan "terima kasih" hanya perlu diungkapkan sekali saja, ketika menerima kebaikan.
   Mengucapkan kata "maaf" memfokuskan pada konteks hubungan interpersonal. Disisi lain, kata "maaf" secara interpersonal tanpa dilandasi ketulusan berarti orang tersebut hanya mengucapkan melalui mulut saja. Dan di masyarakat Indonesia sendiri "maaf" masih sangat sulit diucapkan, dan pada akhirnya muncul konflik. Mudah terjadi konflik karena negara Indonesia beragam budaya dari latar belakang yang berbeda. Sehingga ketidakharmonisan hubungan sosial sulit diatasi.