Hari disabilitas internasional menjadi momentum yang baik untuk selalu mengingatkan kita semua bahwasannya ada sesama kita yang memang "berbeda" dengan kita namun tidak menjadikan mereka lebih rendah dari kita. Tema yang diusung oleh hari disabilitas internasional tahun ini berfokus untuk lebih mempermudah orang-orang disabilitas agar mendapatkan keadilan, kesetaraan dan inklusifitas di berbagai sektor sebagai bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goal) 2030.
Disabilitas sendiri tidak hanya merujuk pada disabilitas fisik saja namun termasuk didalamnya mereka dengan disabilitas dalam hal emosional, intelektual dan psikologisnya. Meski berbeda mereka ini tetap berhak untuk mendapatkan hak yang sama, bisa menikmati sekolah yang menyenangkan, bisa mendapatkan pekerjaan seperti layaknya kita, dst.
Untuk mewujudkannya kita perlu secara bersama-sama menciptakan support system yang positif dengan meminimalisir stigma dan labelling yang berkembang di masyarakat. Stigma dan labelling yang melekat pada umumnya adalah garis batas pandangan mengenai normal dan tidak normal.
Isu ini mulai mendapatkan perhatian dunia secara serius. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghapuskan garis batas ini adalah dalam ranah pendidikan adalah mulai diciptakannya sistem baru.
Jika dulu konsep sekolah yang kita kenal adalah yang masih memisahkan antara mereka yang normal di sekolah reguler dan mereka yang punya kebutuhan khusus di sekolah khusus (atau yang di Indonesia dikenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa / SLB) seiring perkembangan jaman mulai berkembang konsep baru yang dinilai lebih adil dan setara yakni konsep sekolah Inklusi. Indonesia sendiri baru mulai secara masif mengembangkan sistem ini di tahun 2000-an.
Namun sekolah inklusi yang seharusnya menjadi sarana penghapusan stigma dan labelling tidak jarang malah menciptakan masalah baru, diantaranya masih terjadinya tindakan bullying pada mereka yang disabilitas.
Hal ini menunjukkan meskipun sekolahnya sudah inklusi tidak semata-mata menghapuskan stigma dan labelling itu sendiri dengan mudah. Permasalahan stigma dan labelling ini pada dasarnya yang paling mengerikan bukan berasal dari teman-teman kelas reguler si anak berkebutuhan khusus, melainkan malah dari gurunya sendiri dan komponen sekolah lain.
Guru yang seharusnya menjadi agen perubahan dan percontohan untuk siswa-siswi di sekolah untuk menerapkan perilaku yang sarat dengan nilai-nilai inklusifitas malah justru bisa menjadi sumber dari munculnya stigma itu sendiri.
Bukan tindakan yang terlampau kasar atau hal-hal besar sebenarnya, justru bermula dari tindakan sederhana yang dilakukan kemudian menjadi kebiasaan, seperti contohnya sebuah pengumuman yang dilontarkan dari pengeras suara di sebuah sekolah inklusi berbunyi "Panggilan untuk seluruh ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) diharapkan segera berkumpul di ruangan X" sekilas memang tidak ada yang salah ya, namun disadari atau tidak penggunaan istilah dan pemilihan kata seperti ini malah mengembangkan sekat batas yang jelas antara mereka yang dikatakan "normal" dan "abnormal." Atau seperti memanggil mereka yang ABK dengan sebutan "ABK"Â ataupun memanggilnya sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya seperti mengatakan (mohon maaf sekali) "si pincang itu," "si tangan buntung," "si idiot," dst.
Padahal salah satu tujuan dari sekolah inklusi adalah mengaburkan garis batas keadaan normal dan abnormal yang merupakan akar dari munculnya stigmatisasi itu sendiri.
Pada dasarnya tujuan sekolah inklusi adalah untuk menguntungkan pihak abk dan mereka yang normal secara bersinergi. Menguntungkan pihak ABK dalam artian melalui program sekolah inklusi anak berkebutuhan khusus yang awalnya tidak percaya diri untuk bergaul dengan anak-anak disekitarnya karena "berbeda" menjadi jauh lebih percaya diri karena melalui program ini anak akan didorong untuk sering berinteraksi dengan mereka yang reguler.
Kemudian untuk anak reguler dan warga sekolah lain diharapkan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus yang nantinya akan diajak berinteraksi tiap hari diharapkan mampu mengurangi stigma negatif mengenai ABK dan tidak lagi memandang kekurangan orang lain sebagai alasan yang tepat untuk tidak meng-humaniskan seseorang tersebut.
Namun karena kurang aware nya dan penjiwaan pendidik akan nilai-nilai inklusifitas ini malah menjadi boomerang sendiri di kemudian hari.
Anak-anak lain yang mendengar dan melihat bagaimana guru mereka memperlakukan teman-teman kelasnya yang berbeda lama-lama juga akan mengembangkan pemikiran mereka sendiri bahwasannya memang seharusnya seperti itulah teman-teman ABKnya diperlakukan.
Anak Berkebutuhan Khusus memang memiliki "kebutuhan khusus" dalam menjalani kesehariannya, perlu dibantu dalam hal-hal khusus karena keterbatasan/kelebihan yang dimilikinya termasuk dalam menjalani kehidupan sekolahnya.
Namun dasar pemikiran ini perlu "disesuaikan", jangan sampai karena pandangan yang berbeda ini kemudian menjadikannya alasan untuk tidak memandang mereka sebagai selayaknya manusia biasa.
Cukuplah guru tahu bahwa mereka adalah ABK kemudian memberikan perlakuan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhannya disaat-saat tertentu, seperti misal didalam kelas regular atau ketika jam pelajaran khusus ABK kemudian guru memberikan asistensi khususnya, atau saat siswa berkebutuhan khusus menjalani kesehariannya disekolah, sembari mengasistensi tugas guru di sekolah inklusi adalah menumbuhkan empati dan toleransi pada siswa reguler lainnya bahwa ada temannya yang memiliki perbedaan dan perbedaan itu marilah kita maklumi bukan menjadikannya sebagai suatu pembatas antara normal dan tidak normal.
Selain guru, komponen lain di sekolah seperti pemilik di kantin, satpam sekolah maupun juru kebersihan sekolah pun juga seharusnya ikut diberi pemahaman mengenai anak-anak berkebutuhan  khusus yang ada di sekolah tersebut.
Ada sebuah cerita dari seseorang, bahwasannya beliau melihat pemilik kantin di suatu sekolah dasar inklusi yang didatanginya memanggil salah seorang anak inklusi di sekolah tersebut dengan sebutan "kurang menyenangkan," seperti seolah sudah terbiasa, teman-temannya yang melihat hal ini bukannya memberitahu namun malah ikut tertawa. Memanglah mungkin si pemilik kantin "tidak tahu," namun karena ini lingkungannya di lingkungan inklusi maka kembali lagi, sistemlah yang harus menyesuaikan si anak. Pemakluman yang dibiarkan akan menjadi sebuah kebiasaan yang bisa kapan saja ditiru oleh anak-anak lain.
Sudah seharusnya guru dan orang dewasa lain di sekolah memberikan contoh yang positif untuk anak-anak yang ada disekitarnya, karena di usia sedini ini anak mulai mengembangkan pemikiran-pemikirannya mengenai dunia ini. Mereka mulai mengenal norma, nilai-nilai dan moralitas melalui orang disekitarnya.
Namun karena baru mengenal, mereka belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut Bandura "Children see children do,"Â maksudnya anak-anak adalah peniru ulung dari orang dewasa di sekitarnya, apa yang mereka lakukan mencerminkan apa yang mereka lihat sehari-hari di lingkungannya khususnya dalam kasus ini adalah di lingkungan sekolah.
Oleh karena itu penting sekali untuk mengajarinya hal-hal positif yang penuh dengan kebajikan dengan cara mencontohkannya sejak mereka masih kecil. Guru sebagai orang dewasa di lingkungan sekolah inklusi wajib memberikan contoh sikap yang mencerminkan budaya inklusifitas pada siswa-siswanya. Sehingga hal itu pun bisa ditiru oleh mereka dan akhirnya keharmonisan yang menjadi tujuan akhir dari diciptakannya sistem ini pun bisa terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H