Mohon tunggu...
Novia Kartika
Novia Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Stay Healty and Positive

Halo, saya Novia seorang mental health enthusiast, saya hobi menulis seputaran gaya hidup, kesehatan mental, kritikan sosial dan pendidikan. Visi saya adalah mengedukasi dan memberi pengetahuan pada oranglain mengenai hal-hal yang mungkin tidak bisa didapatkannya secara bebas. Saya adalah orang yang teoritis (sebagian besar orang berkata seperti itu haha) jadi jikalau mungkin artikel saya terkesan bertele-tele mohon maaf sekali, namun saya sangat terbuka dengan kritikan dan sarannya. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Peran Seluruh Komponen Sekolah untuk Mewujudkan Budaya Inklusifitas di Sekolah Inklusi

3 Januari 2019   14:10 Diperbarui: 3 Januari 2019   14:19 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
blog.schoolspecialty.com

Hari disabilitas internasional menjadi momentum yang baik untuk selalu mengingatkan kita semua bahwasannya ada sesama kita yang memang "berbeda" dengan kita namun tidak menjadikan mereka lebih rendah dari kita. Tema yang diusung oleh hari disabilitas internasional tahun ini berfokus untuk lebih mempermudah orang-orang disabilitas agar mendapatkan keadilan, kesetaraan dan inklusifitas di berbagai sektor sebagai bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goal) 2030.

Disabilitas sendiri tidak hanya merujuk pada disabilitas fisik saja namun termasuk didalamnya mereka dengan disabilitas dalam hal emosional, intelektual dan psikologisnya. Meski berbeda mereka ini tetap berhak untuk mendapatkan hak yang sama, bisa menikmati sekolah yang menyenangkan, bisa mendapatkan pekerjaan seperti layaknya kita, dst.

Untuk mewujudkannya kita perlu secara bersama-sama menciptakan support system yang positif dengan meminimalisir stigma dan labelling yang berkembang di masyarakat. Stigma dan labelling yang melekat pada umumnya adalah garis batas pandangan mengenai normal dan tidak normal.

Isu ini mulai mendapatkan perhatian dunia secara serius. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghapuskan garis batas ini adalah dalam ranah pendidikan adalah mulai diciptakannya sistem baru.

Jika dulu konsep sekolah yang kita kenal adalah yang masih memisahkan antara mereka yang normal di sekolah reguler dan mereka yang punya kebutuhan khusus di sekolah khusus (atau yang di Indonesia dikenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa / SLB) seiring perkembangan jaman mulai berkembang konsep baru yang dinilai lebih adil dan setara yakni konsep sekolah Inklusi. Indonesia sendiri baru mulai secara masif mengembangkan sistem ini di tahun 2000-an.

Namun sekolah inklusi yang seharusnya menjadi sarana penghapusan stigma dan labelling tidak jarang malah menciptakan masalah baru, diantaranya masih terjadinya tindakan bullying pada mereka yang disabilitas.

Hal ini menunjukkan meskipun sekolahnya sudah inklusi tidak semata-mata menghapuskan stigma dan labelling itu sendiri dengan mudah. Permasalahan stigma dan labelling ini pada dasarnya yang paling mengerikan bukan berasal dari teman-teman kelas reguler si anak berkebutuhan khusus, melainkan malah dari gurunya sendiri dan komponen sekolah lain.

Guru yang seharusnya menjadi agen perubahan dan percontohan untuk siswa-siswi di sekolah untuk menerapkan perilaku yang sarat dengan nilai-nilai inklusifitas malah justru bisa menjadi sumber dari munculnya stigma itu sendiri.

Bukan tindakan yang terlampau kasar atau hal-hal besar sebenarnya, justru bermula dari tindakan sederhana yang dilakukan kemudian menjadi kebiasaan, seperti contohnya sebuah pengumuman yang dilontarkan dari pengeras suara di sebuah sekolah inklusi berbunyi "Panggilan untuk seluruh ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) diharapkan segera berkumpul di ruangan X" sekilas memang tidak ada yang salah ya, namun disadari atau tidak penggunaan istilah dan pemilihan kata seperti ini malah mengembangkan sekat batas yang jelas antara mereka yang dikatakan "normal" dan "abnormal." Atau seperti memanggil mereka yang ABK dengan sebutan "ABK"  ataupun memanggilnya sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya seperti mengatakan (mohon maaf sekali) "si pincang itu," "si tangan buntung," "si idiot," dst.

Padahal salah satu tujuan dari sekolah inklusi adalah mengaburkan garis batas keadaan normal dan abnormal yang merupakan akar dari munculnya stigmatisasi itu sendiri.

Pada dasarnya tujuan sekolah inklusi adalah untuk menguntungkan pihak abk dan mereka yang normal secara bersinergi. Menguntungkan pihak ABK dalam artian melalui program sekolah inklusi anak berkebutuhan khusus yang awalnya tidak percaya diri untuk bergaul dengan anak-anak disekitarnya karena "berbeda" menjadi jauh lebih percaya diri karena melalui program ini anak akan didorong untuk sering berinteraksi dengan mereka yang reguler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun