Mohon tunggu...
Novia Kartika
Novia Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Stay Healty and Positive

Halo, saya Novia seorang mental health enthusiast, saya hobi menulis seputaran gaya hidup, kesehatan mental, kritikan sosial dan pendidikan. Visi saya adalah mengedukasi dan memberi pengetahuan pada oranglain mengenai hal-hal yang mungkin tidak bisa didapatkannya secara bebas. Saya adalah orang yang teoritis (sebagian besar orang berkata seperti itu haha) jadi jikalau mungkin artikel saya terkesan bertele-tele mohon maaf sekali, namun saya sangat terbuka dengan kritikan dan sarannya. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Peran Seluruh Komponen Sekolah untuk Mewujudkan Budaya Inklusifitas di Sekolah Inklusi

3 Januari 2019   14:10 Diperbarui: 3 Januari 2019   14:19 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian untuk anak reguler dan warga sekolah lain diharapkan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus yang nantinya akan diajak berinteraksi tiap hari diharapkan mampu mengurangi stigma negatif mengenai ABK dan tidak lagi memandang kekurangan orang lain sebagai alasan yang tepat untuk tidak meng-humaniskan seseorang tersebut.

Namun karena kurang aware nya dan penjiwaan pendidik akan nilai-nilai inklusifitas ini malah menjadi boomerang sendiri di kemudian hari.

Anak-anak lain yang mendengar dan melihat bagaimana guru mereka memperlakukan teman-teman kelasnya yang berbeda lama-lama juga akan mengembangkan pemikiran mereka sendiri bahwasannya memang seharusnya seperti itulah teman-teman ABKnya diperlakukan.

Anak Berkebutuhan Khusus memang memiliki "kebutuhan khusus" dalam menjalani kesehariannya, perlu dibantu dalam hal-hal khusus karena keterbatasan/kelebihan yang dimilikinya termasuk dalam menjalani kehidupan sekolahnya.

Namun dasar pemikiran ini perlu "disesuaikan", jangan sampai karena pandangan yang berbeda ini kemudian menjadikannya alasan untuk tidak memandang mereka sebagai selayaknya manusia biasa.

Cukuplah guru tahu bahwa mereka adalah ABK kemudian memberikan perlakuan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhannya disaat-saat tertentu, seperti misal didalam kelas regular atau ketika jam pelajaran khusus ABK kemudian guru memberikan asistensi khususnya, atau saat siswa berkebutuhan khusus menjalani kesehariannya disekolah, sembari mengasistensi tugas guru di sekolah inklusi adalah menumbuhkan empati dan toleransi pada siswa reguler lainnya bahwa ada temannya yang memiliki perbedaan dan perbedaan itu marilah kita maklumi bukan menjadikannya sebagai suatu pembatas antara normal dan tidak normal.

Selain guru, komponen lain di sekolah seperti pemilik di kantin, satpam sekolah maupun juru kebersihan sekolah pun juga seharusnya ikut diberi pemahaman mengenai anak-anak berkebutuhan  khusus yang ada di sekolah tersebut.

Ada sebuah cerita dari seseorang, bahwasannya beliau melihat pemilik kantin di suatu sekolah dasar inklusi yang didatanginya memanggil salah seorang anak inklusi di sekolah tersebut dengan sebutan "kurang menyenangkan," seperti seolah sudah terbiasa, teman-temannya yang melihat hal ini bukannya memberitahu namun malah ikut tertawa. Memanglah mungkin si pemilik kantin "tidak tahu," namun karena ini lingkungannya di lingkungan inklusi maka kembali lagi, sistemlah yang harus menyesuaikan si anak. Pemakluman yang dibiarkan akan menjadi sebuah kebiasaan yang bisa kapan saja ditiru oleh anak-anak lain.

Sudah seharusnya guru dan orang dewasa lain di sekolah memberikan contoh yang positif untuk anak-anak yang ada disekitarnya, karena di usia sedini ini anak mulai mengembangkan pemikiran-pemikirannya mengenai dunia ini. Mereka mulai mengenal norma, nilai-nilai dan moralitas melalui orang disekitarnya.

Namun karena baru mengenal, mereka belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut Bandura "Children see children do," maksudnya anak-anak adalah peniru ulung dari orang dewasa di sekitarnya, apa yang mereka lakukan mencerminkan apa yang mereka lihat sehari-hari di lingkungannya khususnya dalam kasus ini adalah di lingkungan sekolah.

Oleh karena itu penting sekali untuk mengajarinya hal-hal positif yang penuh dengan kebajikan dengan cara mencontohkannya sejak mereka masih kecil. Guru sebagai orang dewasa di lingkungan sekolah inklusi wajib memberikan contoh sikap yang mencerminkan budaya inklusifitas pada siswa-siswanya. Sehingga hal itu pun bisa ditiru oleh mereka dan akhirnya keharmonisan yang menjadi tujuan akhir dari diciptakannya sistem ini pun bisa terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun