Isu-isu kesehatan mental memang mulai mendapat perhatian khusus di tahun 2000-an ini terutama beberapa tahun terakhir oleh khalayak, meskipun sebenarnya banyak penelitian sudah dilakukan sejak beberapa abad lalu.Â
Di Indonesia sendiri, isu ini memang mulai mendapatkan titik cerahnya beberapa tahun terakhir ini, pengesahan UU mengenai Kesehatan Jiwa tahun 2014 lalu sebagai salah satu contohnya, kemudian mulai masifnya gerakan bebas pasung yang tersebar di seluruh Indonesia dengan satu memiliki satu visi yang sama-sama mulia.
Kesehatan mental memang sudah seharusnya mendapat perhatian khusus karena merupakan bagian penting dari konsep "manusia yang sehat," sehat itu tidak hanya bebas dari sakit fisik saja namun secara psikis juga. Dengan melihat sehat secara keseluruhan dikatakan bahwasannya manusia selain bebas dari penyakit, dia juga mampu berpikir kritis, kreatif dan berfungsi sebagaimana perannya dimasyarakat.
Bagaimana dengan cara kita melihat individu lain ketika dikatakan bahwasannya ia "terganggu" atau tidak sehat? Pendekatan model medis namanya, adalah salah satu pendekatan umum yang diungkapkan oleh Baltrusaityte (2003) dan berpendapat bahwa penyakit adalah kelainan yang dialami oleh organ tubuh tertentu yang spesifik.Â
Penyakit dianggap sebagai entitas yang diskrit, dimana pasti memiliki sebab/etiologi. Contoh sederhananya adalah seseorang yang mengalami flu dianggap pastilah disebabkan adanya virus flu yang menyerang seseorang.Â
Pendekatan ini memang biasa digunakan dalam dunia kedokteran termasuk dalam penanganan gangguan kesehatan mental yang menjadi ranah Psikiatri. Gangguan kesehatan mental dalam hal ini dipandang sama seperti penyakit fisik lainnya.
Akibat definisi ini menimbulkan sekat yang jelas antara kondisi normal dan abnormal pada seseorang yang ditentukan secara objektif melalui sebuah protokol diagnosis, selain itu muncul buku-buku klasifikasi (seperti pengklasifikasian penyakit yang diakibatkan kondisi biologis pada umumnya) seperti buku ICD dan DSM yang biasa digunakan sebagai patokan diagnosis gangguan kejiwaan dan memunculkan klasifikasi mereka yang sembuh, belum sembuh dan tidak bisa sembuh.Â
Karena yang dikatakan "objektivitas" muncul konsekuensi lain yang tidak bisa kita abaikan begitu saja yakni adanya cara pandang abnormalitas yang dijauhkan dari perbincangan mengenai konteks lokalitas (budaya) dan waktu.
Salah satu fenomena yang sangat terkait dengan konteks lokalitas dan waktu seperti misal contohnya adalah fenomena "kemunculan wahyu" yang dikisahkan dalam agama kita masing-masing "menghinggapi" beliau yang disebut sebagai "pencerah." Contohnya dalam agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW, sementara kalau dalam agama kristiani maka yang dimaksud adalah Yesus sang Penyelamat.Â
Fenomena wahyu jika dikaitkan dengan protokol diagnosis saat ini maka sifatnya sangat tidak relevan, mengapa? Karena bisa saja menurut diagnosis psikiatri saat ini beliau-beliau ini bukan sedang mendapatkan wahyu, namun malah didiagnosis terkena gangguan waham seperti kasus Lia Eden dan ajaran sesatnya yang menghebohkan Indonesia beberapa tahun lalu. Oleh karena itulah tidak seharusnya pandangan yang dikatakan objektif ini malah mengaburkan konteks dan batasan lain yang ada didalamnya.
Cara pandang model medis yang memiliki pengaruh besar pada dunia kesehatan ini, muncul akibat negatif lainnya yakni disematkannya label oleh pendiagnosis untuk para penderita gangguan kesehatan mental yang mana akibat hal ini muncullah stigma dan judgment di masyarakat mengenai suatu gangguan kesehatan mental tertentu.Â