Konon kasta tertinggi mencintai seseorang adalah merelakan dia mengapai kebahagiaannya bersama seseorang yang dipilihnya.
Itukah aku ? ah, belum. Mana mungkin aku termasuk dalam golongan kasta tersebut. Tapi aku berusaha. Walau hanya sepersekian persen saja.
Dari waktu ke waktu seolah makin nampak siapa kita sekarang. Kita yang  sekarang  adalah ingatan yang sesekali saja muncul di benak masing-masing.
Kisah kita seperti kisah perjalanan yang Boy Candra tuangkan dalam bukunya yang berjudul "Senja, Hujan & Cerita Yang Telah Usai."
Walau begitu, pada nyatanya aku butuh waktu lebih banyak melepaskanmu dibandingkan kamu. Benar saja jika seorang ahli mengatakan bahwa seorang perempuan jika telah berurusan dengan perasaannya bisa jadi sosok tak terkendali, terlebih menerima sebuah perpisahan.
Tapi jangan khawatir. Lanjutkan saja hari-harimu yang sudah tanpa aku.
Jangan terlalu sering memikirkanku, itu tidak baik. Hanya akan membuatmu sulit menjadi diri sendiri. Terlebih di depan seseorang terdekat mu.
Dalam bentuk lain, aku akan selalu menemanimu, -tentunya tanpa sepengetahuanmu. Menjadi apapun yang dihadapanmu. Menjadi rasa pahit di secangkir kopimu. Menjadi potong-potongan wortel dan kentang di semangkuk sop makan siangmu. Menjadi serpihan cabai yang terselip di sela gigi-gigimu yang besar. Menjadi asap tembakau yang kau isap. Ehm, mungkin akupun sesekali akan menjadi mimpi burukmu --hanya sesekali saja, kok, jangan khawatir -
Walau kisah kita tlah tanggal. Gugur. Apa-apa tentangmu adalah hal yang baik. Dan sesuatu yang baik harus diperlakukan dengan baik, bukan ?
Cukup ingat aku dalam satu helaan nafasmu. Setelah itu tersenyumlah. Kembalilah pada kenyataan di hadapanmu.
Ingat ! Jangan terlalu sering memikirkanku, itu tidak baik. Hanya akan membuatmu sulit menjadi diri sendiri. Terlebih di depan seseorang terdekat mu.
Kaupun harus lebih percaya diri, melewati ruas jalanan dengan rambut ikalmu yang berwarna tembaga. Yang sesekali terselip aroma tembakau. Sesuatu yang sulit kau lepaskan. Walaupun aku merengek.
Dan janganlah merasa bermasalah dengan berat badanmu yang kerap ku sebut setipis silet. Ah, itu hanya candaan yang berlawanan artinya.
Tak ada yang salah dengan badan kerempengmu, toh, dadamu yang kurus cukup bidang untuk dijadikan  sandaran saat aku merasa jenuh dengan apa-apa yang kujalani. Pundakmu yang nampak ringkih cukup mampu menopang berat badanku ketika kita mengantri tiket bus.
Jangan juga kau rubah ritme langkahmu, yang lebar-lebar. Yang selalu meninggalkanku di belakang. Membuatku tergopoh-gopoh hingga kadang harus sedikit berlari untuk mengejarmu. Â Tak jarang pula aku harus sedikit berteriak kesal karena semakin ku kejar, langkah kakimu kurasa makin melesat. Kau butuh langkah kaki yang lebar untuk melakukan tualang di dunia ini. Menuju semua impian yang dulu terbenam di dalam kepalamu.
Melangkahlah dengan aman. Tanpa perlu lagi berhenti karena harus menungguku.
Lanjutkan tualangmu yang tanpa aku. Tak perlu berkirim kabar apapun. Kecuali kabar tentang pernikahanmu.
*ditanggal 27 sep 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H