Kaupun harus lebih percaya diri, melewati ruas jalanan dengan rambut ikalmu yang berwarna tembaga. Yang sesekali terselip aroma tembakau. Sesuatu yang sulit kau lepaskan. Walaupun aku merengek.
Dan janganlah merasa bermasalah dengan berat badanmu yang kerap ku sebut setipis silet. Ah, itu hanya candaan yang berlawanan artinya.
Tak ada yang salah dengan badan kerempengmu, toh, dadamu yang kurus cukup bidang untuk dijadikan  sandaran saat aku merasa jenuh dengan apa-apa yang kujalani. Pundakmu yang nampak ringkih cukup mampu menopang berat badanku ketika kita mengantri tiket bus.
Jangan juga kau rubah ritme langkahmu, yang lebar-lebar. Yang selalu meninggalkanku di belakang. Membuatku tergopoh-gopoh hingga kadang harus sedikit berlari untuk mengejarmu. Â Tak jarang pula aku harus sedikit berteriak kesal karena semakin ku kejar, langkah kakimu kurasa makin melesat. Kau butuh langkah kaki yang lebar untuk melakukan tualang di dunia ini. Menuju semua impian yang dulu terbenam di dalam kepalamu.
Melangkahlah dengan aman. Tanpa perlu lagi berhenti karena harus menungguku.
Lanjutkan tualangmu yang tanpa aku. Tak perlu berkirim kabar apapun. Kecuali kabar tentang pernikahanmu.
*ditanggal 27 sep 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H