Udara terik , kering kerontang hinggap di dada semesta
Kemarau masih menyapa.
/
Namun pemandangan itu adalah keteduhan di keningku
Ketika aku tengah berlari menjauhimu
Tentu saja , hujan yang turun adalah bak malapetaka
/
Bagaimana mungkin harus tersentuh  rinainya
Jika  tiap tetes yang menghujam, turun seiring ingatan tentangmu
Pelarianku pun kini menuju puisi-puisi sepi. Yang tertutup rimbun patah hati
/
Berepisode-episode telah  ku putar nada-nada penguat
Agar aku tak hanyut, larut oleh luka sebab melupakan
Tapi hal itu hanya bertahan sebatas satu tarikan nafas
/
Sebelumnya aku menggilai hujan. Karena hujan kerap menjadi kita
Semisal,
Ketika kita berlari membelah jalanan, mencari sebuah alamat. Saat itu hujan
Ingat,kah ?
/
Tapi kini aku bukan lagi penggemar tangisan langit
Karena,
Hujan adalah dirimu yang memilih menjadi orang asing
Hujan adalah diriku yang  melepasmu menjadi orang asing
Kini kita dua orang asing yang enggan menyapa
*terik ditanggal 25 Sep 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H