Hai minggu terahkir september, apa kabarmu ? apakah kamu baik baik saja. Di tengah usahamu mengenyahkan aku. Atau lebih tepatnya melupakanku.
Dan apakah semua berjalan sesuai rencanamu dulu ?
Apakah kau sudah terbiasa tak memikirkanku ? aku belum. Aku belum terbiasa. Â Pikiranku yang terlalu padamu, sangat liar. Sulit dikendalikan.
Hingga pada satu hari. Ketika kutemukan putik melatiku berguguran, di pagi yang masih sangat lembab. Padahal semalam sang bayu begitu santun menyapa semesta.
Tiba-tiba suasana hatiku menjadi resah. Resah yang sungguh tak bisa ku maknai.
Mungkinkah ini pertanda bahwa kita akan melewati musim demi musim sendirian ? Mungkinkah sekarang kita akan saling membelakangi senja. Padahal senja adalah yang paling setia menjaga petang.
Kalimat 'entahlah' menyeruak diantara ruar aroma melati yang kini kuanggap angkuh.
Aku rasa mungkin seperti itu. Bisa jadi sekarang kamu sudah melupakan hari-hari penting tentang kita dulu. Melupakan semua hal yang dahulu membuat kita merasa utuh. Tentang kita yang memendam rencana bersama tanpa padam.
Tapi  pada akhirnya aku harus benar-benar-sungguh-sungguh menyadari. Bahwa kamu bukan lagi  seseorang yang selalu ingin mensejajarkan langkah kakimu dengan langkah kakiku.
Kusadari setelah kamu menjelma bak ruh yang meninggalkan jasad. Menjadi sesuatu yang tak mungkin ku genggam lagi.
Kamu yang sekarang adalah dzat yang tak tersentuh, tak terlihat. Dan tak terbaca. Kamu telah menjadi sesuatu yang tanggal, setelah  aku tunggalkan. Kamu pun kini menjelma angin. Yang membawa apa apa dari diriku.
Kamu mengambil debar dalam degubku. Menggantinya dengan risau yang setajam samurai seorang ronin. Dan tanpa ampun menusukku pelan-pelan.
Hari hariku kini hanya terisi asa yang kandas. Pikiranku tentang mu tak kunjung reda. Aku merasa tertindas.
Seringnya aku bertanya ritual apa yang harus kulakukan demi mendapatkan kembali rasa teduh. Walau berpisah darimu.
Apakah dengan membaca buku-buku kesukaanmu. Apakah dengan mencoba meminum kopi tanpa gula samasekali. Atau...apakah dengan memulai perjalanan baru dengan hati yang baru. Agar apa apa yang tersisa tentangmu bisa ku hempas tuntas.
Seorang bijak mengatakan bahwa hidup terlalu murah jika hanya disandingkan dengan kesedihan. Oleh kesedihan gradasi pelangi akan menjadi nampak suram menakutkan.
Dan setelah waktu demi waktu kulalui pahitnya. Sekeras apapun kuinginkan kamu, kamu bukanlah kamu yang selama ini aku kenal.
Kamu yang kini tengah membiasakan diri tanpa aku. Kamu yang kini tengah berjuang memerdekakan diri dari ikatan kebersamaan kita. Makin akrab dengan rasa abai padaku.
Jadi, jika kamu sengaja melupakan aku. Itu adalah hakmu. Pilihanmu. Tak akan aku gugat.
Karena untuk bisa membawa pulang sebuah mimpi. Kita harus sepakat.
*Ditanggal 22 Sep 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H