Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesekali Kamu Harus "Bercumbu" dengan Asap Tembakauku, Sayang

15 Maret 2018   09:33 Diperbarui: 15 Maret 2018   09:45 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dikarenakan faktor cuaca, maka penerbangan menuju Kendari  mengalami keterlambatan 60 menit. Bagi para penumpang di mohon melapor ke staff counter untuk mengambil snack dengan menunjukan boarding pas anda. Terima kasih."

Huff. Aku hanya bisa menghela nafas. Perjalanan ku yang terburu buru, hingga charge ponselku ketinggalan di hotel rasanya menjadi sia-sia.

Kulayangkan pandanganku, menatap orang-orang disekitarku yang bernasib sama denganku, korban penerbangan yang molor.

Ada seorang ibu berusia sekitar 40an, dengan jilbab lebar warna hitam tengah asik memegang tasbihnya. Mulutnya komat kamit dengan teratur. Lalu di belakang kursi ibu itu, duduk sepasang muda mudi tengah asik berfoto, selfi. Setiap selesai berfoto mereka begitu mesra melihatnya sambil tertawa tawa, seolah olah hasil selfi mereka adalah hal paling lucu dan romantis di ruangan tunggu pesawat ini.

Kuhela nafasku sekerasnya, sungguh benar adanya jika menunggu adalah kondisi yang membosankan. Andai saja aku adalah Merlin, si penyihir raja Arthur mungkin saat ini aku tinggal mengucap abrakadraba, dan sampai di kota Kendari dalam sekejap mata.

Demi mengurangi rasa bosan, aku memilih pindah tempat duduk, yang semula berada persis di samping counter staff.

Yang terbersit adalah mencari tempat duduk dengan view landasan pesawat. Mungkin dengan melihat lalu lalang pesawat yang hendak take off bisa menjadi pengalihan kebosananku.

Aku mendapatkan kursi yang kuinginkan. Tepat bersebelahan dengan seorang kakek, berusia sekitar 60 tahunan.

Tak ada percakapan diantara kami, dan aku merasa beruntung. Karena untuk kali ini, aku sedang ingin diam.

Awalnya kukira kakek tersebut sendirian, ternyata tidak. Karena tidak berapa lama kemudian dua orang temannya baru saja datang. Mencuri dengar, sih, mereka habis melaksakan sholat ashar di toilet bawah.

Suasana yang awalnya tenang, kini menjadi agak ramai. Kakek dan dua orang temannya mulai menciptakan dunia mereka, tertawa, berbicara kemudian tertawa lagi. Namun ada yang mengusik netraku, ketika salah satu dari mereka ada yang melinting rokok. Keningku berkerut "Merokok ? Di sini?" tanyaku dalam hati. Tapi rupanya pertanyaanku tak pernah terjawab. Karena rokok linting itu hanya bermain-main saja di sela jari-jarinya. Sesekali hidungnya mencium dan mengendus rokok linting tersebut. Setelah itu kembali jari jarinya yang memutar mutar rokok linting tersebut. Begitu saja secara berulang-ulang.

Tiba-tiba ada rasa paling lucu hinggap di ingatanku. Dan aku ingin tertawa terbahak-bahak, sambil berteriak "Hei ! Kakek tua, kegemaranmu pada rokok linting ada yang ngembarin, lo!"

Kukulum senyumku. Dan memoriku terjerat seraut wajah

***

Dengan gemas, ku hempaskan tangannya dari pundakku. Aroma tembakau di jarinya sangat mengangguku.

Dan seperti biasa, urusan tembakau adalah debat rutin kami setiap hari. Dia yang pecinta tembakau vs aku yang antipati dengan tembakau.

"Aduh, Sayang. Aku tuh merokoknya tadi malam. Kan, sudah jadi aturan wajib kalau kita mau ketemuan jadwal merokokku harus di majukan lebih awal...he..he.." katamu tanpa rasa berdosa. "Tapi kok masih bau, ya. Padahal aku udah cuci tangan, loh." katamu sembari mencium-cium jari jarimu sendiri.

Sebenarnya ini nampak lucu, tapi ku coba menahan tawa. Tapi aku memilih untuk tetap acuh dan ketus, sebagai penegasan bahwa sebenarnya aku ingin dia berhenti merokok. Total. Terlepas dia bilang, rokoknya made in sendiri alias rokok yang nglinting sendiri bukan rokok buatan pabrik. "Rokok kok ada softeknya" katamu mengibaratkan rokok buatan pabrik yang pada bagian atasnya terdapat seperti kapas.

Namun walau sekeras apapun usahaku mengkampanyekan gerakan anti rokok padanya, dia tetap saja santai seperti di pantai.

"Semua yang Tuhan ciptakan di dunia ini pasti mempunyai manfaat, tak terkecuali tembakau. Iya, tembakau, daun kering yang di potong-potong kasar lalu bentuk akhirnya menyerupai teh hijau yang biasa kamu seduh tiap pagi. Yang katamu, konon rajin mengkonsumsi teh hijau bisa menurunkan berat badan sekaligus menangkal radikal bebas bagi kulit."  ucapmu sambil mencubit pipiku, gemas.

Aku hanya mengerucutkan bibirku. "Duh, teori apalagi yang akan dia pakai untuk mematahkan ultimatumku" kataku dalam hati.

"Kamu pernah dengar tentang sosok bernama Dr. Gretha Zahar ?" tanyamu. Aku hanya memandangnya dan mengeleng sambil mengedipkan mata beberapa kali. Dia tertawa lalu mengacak acak rambutku "Kamu, beneran ga tau, ya? Padahal dia sosok fenomenal, lo. Itu sih kalau terlalu benci ama tembakau, sampai ga updateberita kekinian" tanyamu dengan nada sombong.

"Idihhhhh, sekarang emang aku ga tau. Tapi, sebentar ini, nih, akan ku browsing sosoknya. Lihat saja!" ancamku.

"Ga usah. Itu berat. Kamu bakal pingsan kalau sudah mengenal sosok Beliau. Biar kuceritain aja, ya. Itung-itung membantumu, menghemat kuota biar ga browsing-browsing. Hahaha" tawanya begitu lepas dan renyah.

"Bodo" jawabku ketus, sambil mengambil buku dalam tas.

 "Ehm, jadi begini Ay, Dr Gretha Zahar adalah ahli fisika. Dia wanita hebat, Ay. Sama seperti kamu. Dia hebat dalam bidang fisika, sementara kamu hebat memarahiku jika aku belum bisa berhenti merokok. Hahaha" lagi-lagi dia tertawa renyah.

"Nah, menurutnya tembakau bukanlah racun terkutuk yang harus dimusuhi habis-habisan. Bahkan di dalam peradaban suku-suku bangsa Indian, tembakau dianggap obat.  Malah tembakau di negara Perancis di panggil dengan nama Panacea, dalam mitologi Yunani, Panacea adalah Dewi Penyembuh. Bahkan seorang dokter dari Jerman, Michael Berhard Valentini, menyatakan bahwa tembakau memiliki daya alami yang berguna bagi pengobatan medis. 

Kembali tentang Dr Gretha Zahar, beliau ini bisa dikatakan mirip tabib, karena beliau gigih menyembuhkan para pasien kanker dengan metode tembakaunya. Dengan disiplin ilmu biologinya, beliau menciptakan sesuatu untuk meluruhkan nikotin dalam tembakau. Sehingga tembakau menjadi aman di konsumsi, untuk dijadikan pengobatan alternatif bagi para pasien kanker atau lainnya. Begitu, Sayangku." Katamu. Ada nada kemenangan yang ditekankan pada akhir kalimatnya.

Sebenarnya sejak tadi aku tidak sungguh-sungguh membaca, mataku hanya terpaku pada satu halaman saja, telingaku terusik oleh apa yang dia sampaikan. Tentang Dr Gretha-lah, dokter dari Jerman-lah, tentang Panacea si Dewi penyembuh-lah dan tentang tembakau yang melalui disiplin ilmu biologi bisa aman dikonsumsi.

Kututup bukuku. Meletakkannya acak di sampingku.  "Ehm" entah mengapa pembahasan tembakau kali ini sangat mengusikku. "Mungkin sebelum menemuiku, dia mencari referensi lain tentang tembakau, agar rengekanku memintanya berhenti merokok bisa di tawar" batinku.

Melihat responku yang tidak seperti biasanya, dia makin bersemangat melanjutkan argumennya tentang tembakau. "Dan harus kamu tahu, Ay. Bahwa dalam selinting rokok tembakau ada nilai budaya masyarakat kita. Kamu sering lihat, kan, film hantu buatan dalam negeri,  yang hantunya seksi dan semok terus fashionable" katamu sambil melirik usil ke arahku.

Reflek kulempar pulpen ke arahnya. Lemparanku mengenai pundak kanannya, namun diacuhkannya.  "Nah kalau kamu sering lihat, kan suka ada tuh dukun atau 'orang pintar' sebagai pengusir hantu atau roh gentayangan, terus mereka nyediain sajen. Nah di sajen itu suka ada rokok kretek tembakaunya. Jangan kamu lihat rokoknya, tapi lihat betapa keberadaan tembakau sangat dibutuhkan untuk mengenapi sebuah ritual budaya. Sebuah upacara tradisional. Dan jika bicara tentang tradisi berarti kita bicara tentang sebuah masyarakat dan adat istiadatnya yang di anggap suci atau sakral. Terus..."

Dengan kekuatan cahaya, langsung kupotong pembicaraannya "Stop !!! Wuah, merembetnya panjang kali lebar. Padahal aku cuma minta kamu berhenti merokok. Pointnya itu. Kenapa pembahasannya jadi berat begini." Tanyaku. Rasanya ingin ku garuk kepalaku yang tidak terasa gatal. Kamu hanya cengar cengir. Tak menjawab apapun.

Untuk beberapa saat kami diam. Begitulah endingnya, setiap kali kami berdebat tentang tembakau, tentang rokok.

"Jadi kapan kamu mau 'musuhan' ama rokok kretek lintingan itu?" tanyaku dengan sudut mata sedikit menyipit. Mencoba pura pura berekspresi tegas.

"He..he..he...kapan, ya!?"

"Lah, kok balik nanya." Kali ini aku tak bisa lagi menahan tertawaku. Wajahnya yang polos selalu membuatku gagal marah.

"Ay, sesekali mungkin kamu perlu untuk melihatku menikmati tembakau. Melihatku menghisap rokok lintingku. Rokok yang bukan buatan pabrik. Rokok yang bisa kunikmati walau pembungkusnya berasal dari kulit jagung yang kering alias klobot. 

Sesekali kamu juga perlu melihat dan merasakan aroma rokok kemenyan yang pernah aku bawa dari Boyolali. Pemberian Mbah Jaliteng. Buatku, menikmati tembakau itu seperti merawat sebuah kebudayaan. Merawat tradisi turun menurun. Menghormati kearifan lokal. Toh, aku bukan perokok berat seperti temanmu Bayu. Yang sehari bisa menghabiskan berbungkus-bungkus rokok."

Kulihat wajahnya tak pernah seserius ini berbicara tentang tembakau. Entah mengapa, kali ini aku seperti tersihir dengan semua kalimat yang dia ucapkan dan ada pembenaran yang ku "iyakan" .

Rasanya seperti terbangun dari tidur. Mungkin selama ini aku terlalu memandang kehadiran tembakau dari sisi birokrasi. Sisi untung dan rugi. Bukan dari sisi tradisi atau kearifan lokal. Padahal di balik sebuah tradisi selalu ada hal-hal rasionalitasnya sendiri.

Kuraih jari jemarinya. Namun segera di tarik olehnya "Jangan, bau tembakau !?" katanya.

Tak ku gubris penolakannya, jari jemari itu ku tangkupkan dikedua sisi pipiku. "Sesekali, aku ingin bercumbu dengan asap tembakaumu, Sayang. Boleh ?" tanyaku sambil menatap matanya. Meyakinkan jika saat itu tiba, tak akan ada omelan-omelan dengan tatapan sadis.

"Iyessss...." serunya sambil mengepalkan tinju ke udara.

"Eits, jangan senang dulu. Terlepas dari apapun alasanmu, aku tetap berharap kamu menghentikan kebiasaanmu menghisap tembakau. Kecuali tembakau yang kau pakai adalah produksi Dr Gretha Zahar. Karena tembakaunya minim nikotin. Hahaha"

"Ah...plin plan!" gerutunya.

***

"Kepada para seluruh penumpang jurusan Kendari, pesawat anda telah siap. Dipersilahkan untuk memasuki pesawat melalui pintu F-18 dengan menunjukan boarding pass dan kartu identitas anda. Terima kasih"

Seiring pengumuman dari staff counter airlines, lamunanku tentang dia dan tembakaunya pun menguap.

Kubetulkan letak rangselku. Dan mempersiapkan boarding pass serta kartu identitasku. Kulirik kakek tua pemegang rokok linting, tak ada lagi terselip tembakau di sela jari jarinya.

"Aku boarding, ya" ku kirim pesan singkat padanya. Sambil menunggu antrian masuk pesawat.

"Iya. Aku lagi di rumah Mbah Jaliteng. Kami tengah melinting rokok untuk melekan nanti malam sembari melihat wayang orang." Sms balasan darinya

"Ok. Jangan terlalu lama bercumbu dengan tembakau, sisakan cumbuanmu untukku. Aku off. Sudah dalam pesawat." Ponsel langsung kumatikan tanpa menunggu jawaban darinya.

"Akhirnya aku berada dalam burung besi juga" Aku berseru dalam hati. Dan Sepertinya aku kembali "berjodoh" dengan kakek penggemar rokok linting itu.

Setelah di ruang tunggu kami duduk bersebelahan, kini dalam pesawat kami pun duduk bersebelah.

Ah, tembakau punya cara sendiri "menegurku"

Bpn, 14 Mar. 18

*Untuk yang tak pernah merokok di hadapanku.

*Terinspirasi dari buku "Semar Gugat di Temanggung" milik Bapak Mohamad Sobary

*Terima kasih Barca untuk kemenanganmu, 4:1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun