“...aku ingin menemani sunyimu
melahapnya berdua denganmu
hingga riuh tak punya pilihan
selain mendatangi kursi
tempat kita bercengkrama...”
***
Sudah habis ribuan detik mataku melahap habis gambarmu. Menatapnya kemudian mengucapkan rangkaian abjadnya dengan tenang. Menjaga namamu agar aman berada di bibirku.
Kita memang berada di planet yang sama, Bumi. Namun kita ibarat sepasang kutub magnet. Bersama namun berjauhan. Kau di utara dan aku di selatan.
Hampir setiap hari ku susun siasat, bernego dengan syak wasangka. Seumpama seni origami, aku belajar melipat jarak tanpa harus membuat kerut.
Tak ingin kubiarkan awan syak wasangka berada teduh di atas kepalaku. Tak akan kubiarkan mereka mengikatku erat laksana tawanan. Tak akan kubiarkan mereka merantaiku dengan pikiran “mungkin” dan “andai”. Tak-Akan.
Berada bersebrangan denganmu. Membuatku candu pada kopi. Bukan pada teguk demi teguknya. Namun pada aromanya, ya, aromanya.
Setiap badai rindu datang menerpa. Selalu kupinjam ruar-ruarnya. Menghirupnya sedalam mungkin. Lalu membiarkan rindu di dadaku mengeja sendiri kesepiannya.
Biasanya setelah itu, aku menangis. Betapa namamu syahdu di bibirku, namun menjadi resah di dadaku.
Menjaga gambar serupa kita agar tetap menjadi kita, tentu bukan hal yang mudah. Karena sebuah pameo “...yang istimewa akan terkalahkan oleh yang selalu ada..” sering bergelayut dalam benak kita masing-masing.
Namun, bukankah itu adalah resiko ? Resiko sebuah keputusan bersama milik kita. Yaitu saling menitipkan hati.
Kepada hati yang ku harap takkan menjadi purba,
Kepada hati yang ku ingin selalu kanak-kanak,
Sini, bacalah ini !
Oil City 29 Agustus 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI