Kembali pada makin maraknya iklan rokok, bagi diri saya pribadi sich tidak masalah. Toch sebuah produk selalu membutuhkan media sebagai alat promosinya. Namun alangkah baiknya jika media promosi rokok juga mempunyai media tandingan melawan rokok. Artinya pihak media juga harus marak menayangkan efek buruk merokok dan asap yang dikeluarkannya. Bahwa merokok itu bisa membawa efek buruk bagi orang yang tidak merokok. Intinya memberi ketegasan bahwa bukan hanya si perokok yang rugi, si penghisap asap rokok pun ikut rugi.
Seperti tayangan iklan yang pernah saya lihat. Iklan yang diluncurkan oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama Wolrd Lung Foundation. Gambaran seorang ibu yang bukan perokok namun harus kehilangan suaranya karena terkena kanker pita suara. Yang harus berkomunikasi menggunakan papan tulis. “Saya penderita kanker pita suara, Karena sering terpapar asap rokok, Walaupun saya tidak pernah merokok”
Jadi, apakah dengan munculnya ide menaikan harga cukai rokok dianggap mampu menurunkan grafik perokok di negeri ini ? Sementara dari awal, pemerintah agak-begitu-fleksibel dalam hal promosi rokok. Katanya dibawah umur 18 tahun harus jauh-jauh-an ama produk rokok, namun produk rokok iklannya berseliweran di mana-mana. Malah etalase toko memajang bebas aneka produk rokok di area kasir.
Lantas apakah kebijakan menaikan harga cukai rokok juga dibarengi dengan kebijakan penertiban iklan rokok atau kebijakan pemerintah pada pihak penyelenggara musik.
Yaaa...kita lihat saja nanti. Harapan saya mah, kebijakan yang diambil tidak makin menambah daftar pengangguran atau “melumpuhkan” kearifkan lokal tentang tembakau.
Salam.
Oil City 21 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H