“Yang penting hepi” Iklan Djarum 76
“Mahakarya Indonesia sejak 1913” Iklan Dji Sam Soe
“Apa yang kita awali, menentukan apa yang akan terjadi” Iklan A Mild Go Ahead
***
Menggiurkan sekali beberapa petikan kalimat di atas, tapi memang begitulah iklan-iklan rokok jaman sekarang. Mereka begitu lihai menyisipkan sesuatu yang berkesan asik, klasik dan trendy. Mulai dari menggambarkan serunya berkumpul bersama teman-teman, serunya liburan bersama keluarga atau sahabat atau tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalani perjalanan hidup.
Pesan aduhai yang di dukung oleh permainan pikiran yang canggih, mampu membius siapapun yang melihatnya. Sehingga mengaburkan kesan bahwa sebenarnya produk yang dipromosikan adalah produk dengan bahan berbahaya yang adiktif.
Menurut saya iklan rokok hampir semuanya membawa pesan subliminal. Subliminal adalah pesan atau stimulus yang diserap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar, yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang. Pesan atau stimulus ini cepat melintas sebelum individu dapat memprosesnya, lalu perlahan-lahan mempengaruhi dan mengubah pikiran sadar seseorang.
Biasanya rokok dengan pesan subiliminal yang menjadi sasarannya adalah para remaja. Remaja yang identik dengan pencarian jati diri alias masih labil emosi. Iklan seperti ini tentu bisa membawa pengaruh pada perkembangan anak-anak remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri atau pengaktualisasian diri.
Sekarang ini bukan menjadi pemandangan yang aneh lagi jika banyak remaja yang masih berseragam putih biru sudah terjerumus gaya hidup sebagai perokok. Dari sekedar coba-coba hingga beneran merokok. Selain biar di bilang keren, mereka beranggapan bahwa dengan merokok mereka bisa menunjukan eksistensinya.
Tapi tidak hanya karena sebuah iklan saja yang menjadi penyebab seorang remaja memutuskan menjadi perokok. Begitu mudahnya akses mendapatkan rokok di warung-warung yang bisa di beli biji-an (ketengan) padahal jelas-jelas ada larangan bahwa pembeli tidak boleh di bawah 18 tahun, tinggal dilingkungan yang notabene para perokok juga bisa membawa pengaruh seseorang untuk merokok.
Hal ini ditambah dengan makin maraknya konser-konser musik yang menjadikan produk rokok sebagai pihak penyelenggaranya.
Kembali pada makin maraknya iklan rokok, bagi diri saya pribadi sich tidak masalah. Toch sebuah produk selalu membutuhkan media sebagai alat promosinya. Namun alangkah baiknya jika media promosi rokok juga mempunyai media tandingan melawan rokok. Artinya pihak media juga harus marak menayangkan efek buruk merokok dan asap yang dikeluarkannya. Bahwa merokok itu bisa membawa efek buruk bagi orang yang tidak merokok. Intinya memberi ketegasan bahwa bukan hanya si perokok yang rugi, si penghisap asap rokok pun ikut rugi.
Seperti tayangan iklan yang pernah saya lihat. Iklan yang diluncurkan oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama Wolrd Lung Foundation. Gambaran seorang ibu yang bukan perokok namun harus kehilangan suaranya karena terkena kanker pita suara. Yang harus berkomunikasi menggunakan papan tulis. “Saya penderita kanker pita suara, Karena sering terpapar asap rokok, Walaupun saya tidak pernah merokok”
Jadi, apakah dengan munculnya ide menaikan harga cukai rokok dianggap mampu menurunkan grafik perokok di negeri ini ? Sementara dari awal, pemerintah agak-begitu-fleksibel dalam hal promosi rokok. Katanya dibawah umur 18 tahun harus jauh-jauh-an ama produk rokok, namun produk rokok iklannya berseliweran di mana-mana. Malah etalase toko memajang bebas aneka produk rokok di area kasir.
Lantas apakah kebijakan menaikan harga cukai rokok juga dibarengi dengan kebijakan penertiban iklan rokok atau kebijakan pemerintah pada pihak penyelenggara musik.
Yaaa...kita lihat saja nanti. Harapan saya mah, kebijakan yang diambil tidak makin menambah daftar pengangguran atau “melumpuhkan” kearifkan lokal tentang tembakau.
Salam.
Oil City 21 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H