Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Halimun di Pelataran Candi Jawi

20 Agustus 2016   22:35 Diperbarui: 21 Agustus 2016   15:45 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: galautraveler.wordpress.com

Seromantis Tunggul Ametung.

Bayu dan Aya selalu menikmati masa-masa keindahan yang syahdu, laksana sepasang insan yang sudah selesai menjalani wadad pengantin, masa 40 hari penantian sebelum bersenggama.

Aya yang digambarkan sebagai seorang Sinta oleh Bayu, dianggap sangat pantas dijadikan permaisuri di istananya.

Yah, setidaknya itulah istilah yang kerap di gunakan Bayu ketika tengah bercengkrama merancang rencana kedepan bersama Aya, perempuannya.

“Kelak, dari sucinya garbamu itu, akan terlahir pangeran dan putri pewaris tahta kerajaanku. Penerus yang kelak akan mengabadikan trah darahku di dunia ini”

Dan Aya..mencerna kalimat per kalimatnya dengan tersenyum..sebuah senyum malu-malu khas perempuan jawa. Malu yang mengisyaratkan menyetujui, menyepakati dan mengaminkan ucapan Bayu. “Teruslah kau bermimpi tentang masa depan..dengan begitu..kita akan menjadi terbiasa untuk menjadi setia, satu dengan yang lainnya”

Bayu meraih jemari lentik Aya. Mengenggamnya dan meletakannya tepat di dadanya. “Nafas ini, adalah milikmu.”

Aya menoleh dan tersenyum, matanya tertuju pada dada kurus milik Bayu. Dada yang bagi sebagian orang dianggap tidak bisa menjanjikan apapun di masa depan.

***

Bercerainya Nakula-Sadewa

Banyak yang berkata, bahwa menikmati rumput tetangga adalah hal yang paling indah, apalagi membantu tetangga untuk mencabuti rumputnya.

Bayu dan Setyo bersahabat karib, bermula dari kesamaan hobi..yaitu hobi tidak menyukai menonton sinetron. Yang menurut mereka menyaksikan sinetron atau menikmati musik ala boyband tidaklah membawa keuntungan apapun selain perasaan menjadi banci. Mereka lebih senang berdiskusi atau menyaksikan teaterikal kisah raja-raja terdahulu, mengunjungi museum atau candi-candi. Dan saling mengungkapkan kekaguman betapa agung dan anggunnya para wanita jaman dulu.

Mereka adalah gambaran anak muda yang masih mau menghargai budaya dan sejarah. Yang sering mencari jati diri dengan bercermin pada kisah-kisah bijak tokoh pewayangan.

Namun senja itu, di pelataran Candi Jawi, sebuah candi yang terletak di lereng Gunung Welirang, Pasuruan. Keeratan mereka yang bak kisah Nakula-Sadewa tercerai.

“Kau lihat Bay, betapa rupawan bentuk tubuh candi ini, ibarat wanita, tubuhnya ramping weweg..dengan kulit putih bersih” mata Setyo takjub memandang rupa candi di hadapannya.

“Iya. Aku sudah dua kali mengunjungi candi ini, namun masih saja terpukau oleh keindahannya. Rupa sejarah yang tidak semegah Borobudur atau Prambanan namun eloknya begitu..S-e-m-p-u-r-n-a..” tangan Bayu menelusuri relief-relief pada dinding candi dengan mata penuh takjub.

Kedua pemuda yang memiliki paras sama tampan itu, mulai asik dengan kesibukannya mengagumi bangunan yang terbuat dari batu, hasil cipta manusia peradaban lampau.

“A-ya.. Candi ini agung seperti A-ya,” bibir Setyo bergumam-gumam lirih, ucapannya polos tanpa kendali, seperti ada sesuatu yang menuntunnya untuk mengucapkan nama seseorang-yang-tidak-pantas-dipanggilnya-dengan-penuh-rasa.

Tangan Bayu terhenti seketika, wajahnya menoleh pada Setyo. Alisnya mengernyit “Kamu...mengucapkan nama seseorang yang aku puja?”

Bayu mengeser posisi berdirinya agar menjadi sejajar dengan Setyo “Kamu..Ehmm,” Bayu menatap penuh ketegasan pada Setyo, meminta penjelasan.

Seperti tersadar dari pengaruh gendam, Setyo gelagapan menjawab pertanyaan Bayu. Tangannya membetulkan letak topi hitamnya, menyamarkan rasa bersalahnya yang sudah menyebut nama perempuan yang di puja Bayu. “Eh..Anu..A-ku..” Setyo terbata, namun berusaha untuk tetap tenang. “..mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuk mengatakan sebuah kebenaran, tepatnya sebuah pengakuan,” Setyo membatin.

“Bay, ehm..sebenarnya aku memiliki rasa kagum yang-agak-berlebihan pada A-ya..sosok yang kau ibaratkan Sinta itu..Aku..” kalimat Setyo terhenti sampai di situ saja.

-Bbyyaaarr-

Bunyi petir yang sebenarnya tidak ada, namun Bayu merasa gemuruhnya sahut menyahut di gendang telinganya. “Apa katamu? Kau memuja Aya..Sinta-ku?” Bayu mendekatkan wajahnya pada Setyo dengan mata memicing, berusaha mencari kebenaran yang sebenar-benarnya.

“Iya, Bay..sejak kau sering menyuruhku, menjemputnya. Menggantikanmu yang tengah sibuk mempersiapkan skripsimu,” wajah Setyo menatap Bayu. Bukan tatapan yang menantang namun lebih pada tatapan yang mengatakan bahwa Aya masih tetap menjadi Sinta-nya Bayu.

“Bajingan, Kau..!? Hanya karena sering ku mintai tolong..Kamu mengambil kesempatan pada Ayaku,” sebuah pukulan telak mengenai pelipis mata kanan Setyo.

Setyo terhuyung beberapa langkah kebelakang, kepalanya berdenyut. Tangan kanannya mengusap cairan merah yang mengalir tipis. Bibirnya meringgis, keningnya berkerut menahan nyeri. “Bay, aku memang memuja Ayamu, namun sungguh Bay..Tak pernah sekalipun aku menyentuhnya..Bahkan kuharamkan kulitku menyentuhnya..”

Bayu menatap sinis pada Setyo, “Haram, haram kau bilang !? Taik kucing. Beberapa kali kalian mendapat kesempatan bersama. Menjemputnya kuliah. Mengantar kemudian menjemputnya les biola. Menemani ke kantor polisi, mengurus mobilnya yang kena tilang. Apakah dari beberapa kali itu, kau dan Aya tidak bersentuhan fisik..Dasar Rahwana bejat,” mata Bayu menyala, ada kobaran amarah yang mengelegak di dalamnya. “Kau salah gunakan kepercayaanku, kalian berkhianat,” nafasnya memburu cepat, dadanya naik turun tak teratur, kedua tangannya mengepal hingga urat-uratnya nampak mengurat keras.

Setyo memberanikan diri, mendekati Bayu yang tengah berada di titik maksimum amarahnya. Baginya tidak masalah jika sebuah bogem mentah akan mendarat di wajahnya lagi.

“Selama bersamaku, Aya tak pernah sedikit pun membuka celah untukku menyentuhnya. Dan akupun begitu. Aku sangat menghargai sosoknya sebagai calon prameswarimu, dia adalah calon gua garba bagi winih trahmu kelak. Dan aku tidak menganggu gugat hal tersebut. Aku sangat menjaganya, Bay. Seperti seorang emban menjaga sesembahannya. Kau boleh mengatakan aku adalah Rahwana, karena menurutmu, aku sudah menculik sesuatu daridirinya Aya. Namun, tolong Bay, jangan kau anggap Aya adalah Dewi Uma, Dewi yang tidak lolos uji kesetiaan Dewa Siwa. Setianya Aya masih suci, Bay.”

 “Rahwana akan melakukan apapun untuk tetap terlihat baik. Dan alibimu berlebihan,” Bayu memandang sinis pada Setyo.

 “Terserahlah,” Setyo mengibaskan tangannya, tak peduli pada tanggapan Bayu.

Setyo berlalu. Berbalik pergi meninggalkan Bayu, tanpa mengucapkan apapun. Berjalan keluar pelataran candi yang sebagian bentuknya mulai digerayangi Halimun, milik Gunung Welirang.

Meninggalkan Bayu sendirian di pelataran Candi Jawi yang menurut sejarah merupakan penyimpanan abu jenazah Kertanegara, Raja Singasari.

Udara sekitar candi makin dingin, namun tidak membantu mendinginkan amarah di tubuh Bayu. Jiwanya kini berkafankan kalut. Sebuah tanda tanya besar mencuat dalam pikirannya yang gamang, “Masih sucikah perasaannya Aya, untukku?” tanyanya lirih.

Disaksikan sejumlah arca dewa-dewa kepercayaan Siwa. Bayu mulai meracik keraguan pada Aya. Gontai tubuhnya meninggalkan Candi Jawi, yang mulai tenggelam dimakan waktu senja.

Satu persatu dilewatinya arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi dan Brahma. “Aya, apakah kini dalam hatimu telah tercipta dua kerajaan, seperti kisah pembuatan candi ini?”

***

Adigang-Adigung-Adiguna.

Sejak pengakuan Setyo, hari-hari yang dilewati Aya laksana neraka membara. Aya yang dianggap sudah berkhianat, kerap diperlakukan semena-mena oleh Bayu. Sikap hormat dan takjubnya kini berganti rupa menjadi sikap bengis yang sadis, tanpa ampun Bayu menghujami Aya dengan gelar sebagai Dewi Uma, sosok yang dikutuk Siwa karena gagal menjalani ujian kesetiaan.

Dan Aya, dengan kesabaran yang berbalut duka lara, karena dituduh berkhianat, bersikukuh bahwa tiada apapun yang ternoda. Setianya masih terjaga utuh, walau kesempatan berkhianat pernah didapatnya secara cuma-cuma.

“Jika kamu, hendak pergi..pergilah..minggat dan menjauhlah?!” Aya terperangah, kaget, mendengar kalimat yang barusaja Bayu ucapkan. Kalimat yang sangat melukai kelembutannya mencintai Bayu.

Kedua alis Aya mengernyit menahan tangis agar tidak terlihat cengeng. Telinganya panas. Aya berdiri, membawa punggungnya untuk membelakangi Bayu. Memaksanya bergerak menjauh. Meninggalkan Bayu seorang diri di kedai kopi langganan mereka.

-Namun sepertinya Bayu tak tergerak sedikitput mengejar Aya-

“Kau..Sintaku,” panggilnya lirih. Hanya itu yang Bayu lakukan. Bergumam-gumam saja.

Siluet Aya makin jauh. Menjauh, dan akhirnya siluet itu lenyap, seperti embun yang menguap membumbung tinggi ke angkasa.

Bayu mengambil rokok dari saku kemeja sebelah kanannya. Dipandanginya batang rokok yang lepek itu tanpa hasrat. Dirogohnya saku celana jeansnya, sebuah pemantik berwarna hitam berada dalam genggamannya. Klik. Suara pemantik terdengar beriringan dengan semburat warna biru menyala. Mendekatkannya pada ujung rokoknya, kemudian menghisapnya dalam..sangat dalam..kemudian menghembuskan asapnya ke udara, setinggi mungkin, sejauh mungkin. Bayu seperti hendak ingin mengubah sesuatu didalam rongga dadanya. Sesuatu yang dia sendiri pun tidak tahu. Sesuatu yang kerap memantik emosinya, sesuatu yang lebih mirip polah tingkah Kertajaya,yang adigang-adigung-adiguna.

“S-egawon…” tiba-tiba sepenggal kalimat tidak pantas meluncur tajam dan tegas dari bibirnya. “Rahwana itu telah mengubah segalanya, dia mengubah Aya-ku..mengubah rasa-ku.”

Gurat-gurat kasar muncul dari rahangnya yang kurus kokoh. Lagi-lagi rokok yang tinggal tersisa satu ruas, diisapnya dengan sangat dalam, lebih dalam dari sebelumnya. Dan kepulan asap putih bergulung-gulung keluar dari mulutnya, seperti hendak mencari ruangan yang lebih tinggi dari kepala empunya si penghisap.

Bayu mengacak-acak rambutnya. Wajahnya makin lusuh. “…mengapa cintamu yang seromantis Tunggul Ametung. Kini berubah menjadi cinta seorang Rama yang meragukan kesucian seorang Sinta,” pertanyaan dari Aya, sesaat sebelum berlalu, terngiang-ngiang di genderang telinganya. Memekakkan sekaligus menyesakkan dada. “Ah, apakah aku adalah Tunggul Ametung yang ingkar pada lakuku memilih Ken Dedes?” tanyanya lirih. Sebuah pertanyaan yang ditujukan pada dirinya sendiri.

Tangan kanannya kembali mengacak rambutnya. “Padahal demi Ken Dedes, Tunggul Ametung melanggar norma-norma agamanya, dengan syahwatnya yang liar, dia begitu lancang berani mengagahi Ken Dedes yang merupakan seorang brahmani, walau tanpa persetujuan ramandanya, Empu Purwa. Demi Ken Dedes, dengan rela hati, Tunggul Ametung merendahkan kasta kastrianya menjadi sudra. Merayunya dengan penuh cinta kasih, walau berbalas sikap angkuh nan sombong. Memujanya dengan tulus, seolah siap memberikan kepalanya untuk di injak-injak. Arrggghhhh…” wajah Bayu merona merah. Entah marah atau murung, atau mungkin rasa sesal yang menyelinap mulai berkontraksi di rahim nuraninya.

Bayu melumat amarahnya. Mengunyahnya dengan berat hati kemudian menelannya bulat-bulat, memamah rasa pahit dari sesalnya.

“Jika seorang Ken Arok, sanggup menerima Ken Dedes yang merupakan sepahnya Tunggul Ametung, mengapa aku bersikap gemagah. Apakah sebuah rasa harus dibatasi oleh suci atau tidaknya tubuh perempuan. Lagipula bukankah aku sendiri yang menghadirkan sosok Setyo dalam kebersamaanku dan Aya,” Bayu membatin.

Ada dilema menyeruak pada setiap nafas yang dihirupnya. Dan, senja yang berjalan sangat lambat, seperti sengaja menghantarkan beberapa nampan dengan rupa-rupa wajah perempuan yang di pujanya. Aya. Lengkap dengan lengkung-lengkung kemanjaan dan kegenitannya ketika marah merajuk.

“Duh, Aya,” lirihnya

***

Oil City, 20 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun