Bayu dan Setyo bersahabat karib, bermula dari kesamaan hobi..yaitu hobi tidak menyukai menonton sinetron. Yang menurut mereka menyaksikan sinetron atau menikmati musik ala boyband tidaklah membawa keuntungan apapun selain perasaan menjadi banci. Mereka lebih senang berdiskusi atau menyaksikan teaterikal kisah raja-raja terdahulu, mengunjungi museum atau candi-candi. Dan saling mengungkapkan kekaguman betapa agung dan anggunnya para wanita jaman dulu.
Mereka adalah gambaran anak muda yang masih mau menghargai budaya dan sejarah. Yang sering mencari jati diri dengan bercermin pada kisah-kisah bijak tokoh pewayangan.
Namun senja itu, di pelataran Candi Jawi, sebuah candi yang terletak di lereng Gunung Welirang, Pasuruan. Keeratan mereka yang bak kisah Nakula-Sadewa tercerai.
“Kau lihat Bay, betapa rupawan bentuk tubuh candi ini, ibarat wanita, tubuhnya ramping weweg..dengan kulit putih bersih” mata Setyo takjub memandang rupa candi di hadapannya.
“Iya. Aku sudah dua kali mengunjungi candi ini, namun masih saja terpukau oleh keindahannya. Rupa sejarah yang tidak semegah Borobudur atau Prambanan namun eloknya begitu..S-e-m-p-u-r-n-a..” tangan Bayu menelusuri relief-relief pada dinding candi dengan mata penuh takjub.
Kedua pemuda yang memiliki paras sama tampan itu, mulai asik dengan kesibukannya mengagumi bangunan yang terbuat dari batu, hasil cipta manusia peradaban lampau.
“A-ya.. Candi ini agung seperti A-ya,” bibir Setyo bergumam-gumam lirih, ucapannya polos tanpa kendali, seperti ada sesuatu yang menuntunnya untuk mengucapkan nama seseorang-yang-tidak-pantas-dipanggilnya-dengan-penuh-rasa.
Tangan Bayu terhenti seketika, wajahnya menoleh pada Setyo. Alisnya mengernyit “Kamu...mengucapkan nama seseorang yang aku puja?”
Bayu mengeser posisi berdirinya agar menjadi sejajar dengan Setyo “Kamu..Ehmm,” Bayu menatap penuh ketegasan pada Setyo, meminta penjelasan.
Seperti tersadar dari pengaruh gendam, Setyo gelagapan menjawab pertanyaan Bayu. Tangannya membetulkan letak topi hitamnya, menyamarkan rasa bersalahnya yang sudah menyebut nama perempuan yang di puja Bayu. “Eh..Anu..A-ku..” Setyo terbata, namun berusaha untuk tetap tenang. “..mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuk mengatakan sebuah kebenaran, tepatnya sebuah pengakuan,” Setyo membatin.
“Bay, ehm..sebenarnya aku memiliki rasa kagum yang-agak-berlebihan pada A-ya..sosok yang kau ibaratkan Sinta itu..Aku..” kalimat Setyo terhenti sampai di situ saja.