Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhir Sebuah Gigitan

7 Januari 2016   10:24 Diperbarui: 7 Januari 2016   11:26 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mamiku bernama Bernadeth, bagiku mami adalah perempuan yang luarbiasa tangguh, sebab mampu bertahan menjadi istrinya papi selama 2 tahun dan membiarkan peranggai Papi yang kerap bermain perempuan menggilas perasaannya.

Papi yang seorang pengusaha batubara sangat menikmati uangnya.

Mami mempunyai sepasang lesung pipit di kedua pipinya, kulitnya hitam manis. Tidak seperti kebanyakan perempuan dari daerah Indonesia Timur, rambut mami lurus tergerai.

Mami adalah istri keempatnya Papi. Selain mami, Papi masih mempunyai beberapa istri lagi. Dari 12 orang anaknya Papi, hanya aku saja yang perempuan. Papi pun menamaiku Bernadeth, sama seperti nama mami. Papi berharap, sikap sabar dan tidak banyak protesnya mami menurun padaku.

Tetapi rupanya Papi tidak paham, sikap sabar dan diamnya mami malah menjadi penyebab kematiannya. Di usiaku yang baru satu bulan, mami meninggal dunia karena TBC. Setelah mami meninggal, aku di asuh oleh istri ketiganya Papi yang tidak mempunyai anak.

Mami Lena namanya. Tidak seperti Mami Bernadeth, Mami Lena menurut Papi sangat cerewet. Karena kerap melempari Papi dengan benda apa saja jika Papi pulang dalam keadaan mabuk, apalagi jika tercium aroma parfum wanita di leher dan dadanya.
***

Usiaku kini sudah beranjak 8 tahun, dan aku masih tinggal dengan mami tiriku. Peranggai Papi juga belum berubah. Bahkan, sekarang Papi secara terang-terangan sudah berani mengajak perempuan lain ke rumah Mami Lena dan mengenalkannya sebagai calon istri barunya. Entah istri ke berapa, aku tidak tahu. Bukan urusanku.

Bagi orangtua pada umumnya, usia 8 tahun adalah waktunya seorang anak masuk sekolah dasar. Tapi tidak bagiku. Aku masih di rumah. Masih berada dalam kamarku yang megah, dengan berbagai macam permainan yang bagus-bagus. Papi sangat memanjakanku, “Kamu adalah mutiaranya papi,” ucapnya sebulan yang lalu. Saat aku bertanya padanya mengapa aku tidak sekolah seperti anak-anak yang ada dalam televisi. Dan seminggu sesudah pertanyaan itu, Papi mendatangkan 4 orang guru privat ke rumah mami tiriku. Guru piano, guru home schooling, guru bahasa inggris dan seorang pendeta sebagai guru agamaku.

Sekarang kegiatanku selain bermain aku juga belajar.

Usia 8 tahun adalah usia yang paling berarti bagiku, sebab di usia inilah Papi semakin sering mengunjungiku. Tidak seperti saat aku masih balita, sebulan sekalipun tidak.

Papi pun sering menemani aku tidur. Memandikan aku. Menyisir rambutku. Dan Papi sering menciumku dengan lembut. Mencium keningku, namun sesekali di bibir.
***

Tak terasa usiaku kini 12 tahun dan Papi makin sering menemaniku tidur. Menemani sambil sesekali mengigit-gigit bibirku sembari meremas-remas dadaku.

Aku merasa geli dan sangat aneh pada sikapnya, tapi aku diam saja. Tidak meronta. Tidak berteriak.

Saat hendak melawan aku teringat ucapan guru agamaku, “...melawan orangtua adalah perbuatan dosa..” Dan jadilah aku diam saja, tak melawan gigitan bibir Papi dan remasan tangan Papi di dadaku.

Aku takut berdosa jika melawan Papi, orangtuaku.
***

Hari ini usiaku 15 tahun. Dan hari ini juga aku mendapatkan haid pertamaku. Setelah semalam Papi mengigit-gigit bibirku dan meremas-remas dadaku.

Mami Lena tidak pernah tahu akan hal ini. Karena mungkin baginya wajar saja jika ada seorang papi menemani tidur anak perempuannya.

“Mamiiiiiii Lenaaa!!!!” jeritku histeris saat bangun tidur dan menemukan ceceran darah di sprei.  Mami Lena tergopoh-gopoh naik ke lantai 2, lantai kamarku berada. “Ada apa, Adeth?!” tanyanya tak kalah histeris. Aku hanya menunjuk bercak darah di spraiku. Dan Mami Lena tersenyum tak mengatakan apapun.

“Laksmiiiiii, kamu tolong keatas, ya, ganti spreinya nona Adeth. Dia bocor” Mami Lena berteriak memanggil Laksmi. Pembantuyang usianya 5 tahun di atasku. Dan aku masih kebingungan dengan bercak darah di sprai juga ucapan Mami Lena tentang “Bocor” Apanya yang bocor, tanyaku dalam hati.

“Duh anak mami, sudah besar, ya, sekarang. Sudah mens” Mami Lena berujar sambil mengelus rambutku.

Aku diam tak ingin mencari tahu maksud ucapannya. Memilih menyimpannya dalam hati. Semakin hari sikapku makin mirip mamiku, Bernadeth. Lebih memilih diam dan tak mau banyak bertanya. Dan atas sikapku yang seperti ini, Papi semakin sayang padaku. Semakin sering mengunjungiku.

Semakin Papi menyayangiku, aku semakin takut melawannya. Semakin takut berdosa, melawan orang tua.
***

Ibarat bunga yang sedang tumbuh. Kata Papi, aku tumbuh dengan sempurna. Badanku langsing, kulitku hitam manis. Rambutku ikal. Buah dadaku pun mulai muncul dengan baik. Dari bulan ke bulan, bulatannya makin menonjol. Dan Papi menyukainya.
Aku bahagia melihat Papi bahagia. Papi sekarang sangat menikmati dua bulatan di dada kiri dan dada kananku.
Aku pasti masuk surga. Karena bulatan di dadaku membuat Papi bahagia.
***

Mami Lena menyuapiku dengan telaten. Sudah 3 hari ini suhu badanku tinggi. Tapi baru dua suap, perutku sangat mual. Aku berlari ke kamar mandi dan terduduk di depan closet.  Ku usap ceceran liur dari daguku, dengan terhuyung-huyung aku kembali ke tempat tidurku.

Ku biarkan saja gaun tidurku tersingkap dan membuat pahaku terbuka. Badanku sakit semua. Nyeri. Terutama di bagian bawah. Terasa panas dan perih. Seperti ribuan silet menyayatnya.

“Adeth, kamu datang bulan lagi, kok ada bercak darah di spreimu?” Mami Lena memandangku penuh selidik. “Ga kok, Mam. Baru seminggu yang lalu selesai.” Jawabku sambil membenamkan wajahku ke bantal.

Terdengar suara Laksmi dari lantai bawah. Memanggil Mami Lena, mengatakan ada tamu menunggu di teras samping. “Dasar pembantu kurang ajar, manggil nyonya-nya sambil teriak-teriak” gerutu mami.

Selepas Mami Lena pergi, aku memegang bagian bawahku. Rasanya perih sekali. “Auwh” lirihku saat mengerakan kedua pahaku.

Semalam Papi menemaniku tidur lagi. Tapi ada yang istimewa tadi malam. Semalam Papi membawakanku gaun tidur yang sangat cantik. Gaun yang sangat tipis dengan renda-renda di sekitar dadanya. Atas perintah Papi, aku tidur bersama Papi sambil menggenakan gaun tidur itu. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Papi sudah menghunjamkan sesuatu yang sangat menyakitkan di bagian bawahku. Aku berteriak, tapi Papi membekam mulutku. Katanya jangan melawan.

Aku diam dan menahan nyeri teramat perih. “Lebih baik aku tak melawan Papi, daripada berdosa “Ucapku dalam hati

Setelah malam itu, dua bulan berikutnya aku tidak menemukan ceceran darah di spreiku seperti biasanya. Bulananku terhenti. Dan celanaku terasa sempit.

Aku mengeluhkan hal ini pada Mami Lena “Mami, sudah dua bulan bagian bawahku tidak berdarah seperti bulan-bulan lalu”
Mami Lena terhenyak. Nafasnya terdengar berat. Memandangku dengan iba.
***

Mami Lena dan Papi bertengkar hebat di ruang makan. Dari pinggir kolam renang aku bisa mendengar Mami Lena menangis tersedu-sedu. Sementara suara Papi terdengar garang. Dengan logat khas Ambonnya, suara Papi seperti seorang sipir yang sedang memarahi tahanannya.

“Jangan lupa, Lena. Berkat uangku lah seluruh keluargamu bisa hidup enak sekarang. Jadi kau jangan macam-macam. Adeth itu anakku dari Bernadeth. Bukan anakmu. Jadi suka-suka akulah, mau ku apakan dia” kata Papi

“Tapi Pap, dia anak perempuan papi satu-satunya. Kenapa papi tega sekali melakukannya” suara Mami Lena parau, mungkin karena habis menangis.

“Ya suka-suka akulah. Daripada dia dinikmati orang lain lebih aku yang menikmati. Papinya.”

“Papi keterlaluan, itu dosa, Pap...dosa”

Dosa. Aku terhenyak dengan ucapan Mami Lena tentang dosa. Dosa apa yang telah Papi lakukan padaku. Selama ini Papi sangat memanjakanku, semua yang ku inginkan di turuti. Di televisi anak-anak lain tidur sendiri tapi aku tidur di temani Papi. Papi memperlakukanku sangat manis.

Ku kenakan kimonoku menutupi tubuhku yang hanya berbikini dan bergegas menuju ruang makan yang hanya berjarak 3 meter dari kolam renang, rasanya kok tidak terima jika mami Lena mengatakan bahwa Papi telah berdosa padaku.

“Mami Lena, Papi sudah berdosa apa pada Adeth?!” tanyaku sengit “Mami Lena jangan ngarang-ngarang dech. Selama ini Papi sangat baik pada Adeth “ Kataku penuh pembelaan.

“Adeth” Papi dan Mami Lena bersamaan memanggil namaku. Kaget karena tidak menyangka aku mendengar pertengkaran mereka.
Aku berdiri mematung tepat di samping guci besar setinggi 130 cm, yang di beli Papi dari pedagang Cina.

Mami Lena mendekatiku, di rapikannya beberapa helai rambut yang menutupi keningku “Adeth, apakah Adeth sudah datang bulan lagi?” tanyanya lembut.

Aku tak menjawab. Mataku tertuju pada Papi, Papi menatapku dengan penuh tandatanya.

Aku menggeleng, “Belum, Mami. Bahkan ini sudah memasuki tiga bulan Adeth belum dapat jatah bulanan” intonasiku melunak, dan aku lagi-lagi memandang Papi.

Tiba-tiba muncul pak Frans, dia adalah guru agamaku. Bersamanya ada dua orang polisi yang usianya sekitar 40tahunan.
Papi kebingungan saat salah seorang polisi memborgol kedua tangannya “Anda kami tahan karena perbuatan tidak senonoh pada putri anda”

“Tapi, Pak” Papi berontak dan menolak kedua tangannya di borgol.

Saat Papi meronta-ronta membela dirinya karena merasa tak bersalah, Pak Frans dan mami Lena membawaku menyingkir dari ruang makan, membawaku ke kamar.

Rupanya beberapa minggu ini Mami Lena mengungkapkan sikapnya Papi yang dianggapnya sudah keterlaluan memperlakukanku pada Pak Frans. Dan atas desakan dari Pak Frans, Mami Lena memberanikan diri mengadukan hal ini ke pihak polisi. Harapannya agar Papi berhenti menodaiku terus menerus.

“Adeth, gunakan ini di kamar mandi. Caranya baca di petunjuk bagian belakang, ya” Pak Frans menyerahkan sebuah bungkusan kecil yang biasa dipergunakan sebagai alat test kehamilan.

Aku menurutinya. Tak berapa lama aku keluar dari kamar mandi dengan membawa sebuah stick kecil dengan simbol “+”

Dengan tangan bergetar, aku menyerahkannya pada Mami Lena. Mami Lena terlihat lemas. Pak Frans menarik nafas dalam-dalam.

“Papimu sudah sangat berdosa padamu, Adeth. Dan sekarang buah dosanya harus kau tanggung sendirian”

Aku terdiam.

Aku menangis sejadinya. Ada kekosongan dalam hati yang tak bisa kujelaskan.

 

***

Oil City 07-01-15

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun