Mamak pun tak pernah menyadari raut wajahku yang kerap murung, setelah menikah.
“Duh, Tuhan. Aku mohon padaMu. Ingatlah setiap kemurunganku ini. Jadikan hal ini sebagai jembatan memasuki surgaMu.” Pinta yang selalu aku haturkan pada Tuhan. sebagai pengingat untukNya bahwa aku bukan seorang anak pembantah. Dan karena aku bukan pembantah, tentu saja neraka bukanlah imbalan untukku.
*
“Inemmm...!!!” sebuah suara yang kukenal memanggilku “Ambilkan aku handuk!” katanya dengan nada memerintah. Layaknya juragan pada pegawainya.
“Iya, Mas Amir,” jawabku singkat.
Perihnya dibagian “itu” masih agak terasa, membuatku harus berjalan agak tertatih. Namun, menurut Mamak, seorang istri harus patuh pada suaminya.
Dan inilah aku, Inem, gadis berusia 15 tahun yang telah menjadi “korban” doktrin orangtua dan agama.
**
Oil City, 04-01-15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H