Mamak selalu berpesan padaku bahwa seorang perempuan harus menjaga kehormatannya dari tangan lelaki. Tetapi mengapa Mamak diam saja, ketika melihat Amir meletakkan tangan kanannya di pahaku. Bukankah paha adalah area yang berdekatan dengan kehormatan seorang perempuan ? tanyaku dalam hatiku.
“Mak, Aku mau pipis,” bisikku pada Mamak yang sibuk mengoyang-goyangkan kipasnya. Kepanasan. Bibirnya yang berlisptik merah menyala tak henti menebar senyum pada setiap tamu yang hadir. “Makkk,” kataku lagi dengan intonasi agak tinggi.
Mamak menoleh. Masih dengan senyumnya yang berbalut lisptik merah.”Apa?” tanyanya sambil menyorongkan telinganya.
“Mau pipis,” kataku lagi.
“Pipis ?” kening Mamak berkerut. “Nanti saja, masih banyak tamu. Nanti kalau kamu pergi pipis. Gimana kalau ada tamu mau salaman” katanya. Tanpa melihat kepadaku.
Aku merengut. Kakiku sedikit ku hentakan. Mamak langsung melirikku “Jangan seperti anak kecil” katanya.
Begitulah aku, sebagai seorang anak yang hidup dalam lingkungan yang menurut orang-orang religius. Aku di doktrin bahwa akan menjadi sebuah dosa besar jika seorang anak membantah pada kehendak orangtua. Dan jika doktrin ini dilanggar, maka neraka adalah imbalannya.
Alhasil, sepanjang duduk di kursi pelaminan. Aku menahan dua hal membingungkan. Sikap Amir padaku. Dan rasa nyeri di perut bagian bawahku, sebab menahan pipis seharian.
*
Akhirnya pesta pun usai. Aku dan Amir digiring Mamak menuju kamar, katanya kamar pengantin. Saat Amir pamit mandi. Aku bertanya pada Mamak “Mak, nanti aku bobo ama Mamak ya.” Mamak tertawa. Namun tak berkata apapun.
“Mak, aku bobo ama Mamak ya” aku mulai merengek. Namun, lagi-lagi Mamak tidak mengatakan apapun.