Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menurut pada Mamak

4 Januari 2016   22:09 Diperbarui: 4 Januari 2016   22:57 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dalam hidup ini, kadang-kadang kita harus memilih, antara menyenangkan hati Tuhan dan menyenangkan hati manusia. Untuk kepentingan jangka panjang, lebih baik menyenangkan hati Tuhan. Dia lebih mampu untuk mengingat.”
(Harry Kemelman)

*

Usiaku belum genap 15 tahun. Ketika Mamak memutuskan untuk menikahkanku dengan seorang pemuda bernama Amir, yang usianya lebih tua 7 tahun dariku. Kata Mamak, anak gadis kalau sudah mens harus segera menikah. Supaya tidak menjadi incaran kejahatan atau fitnah tetangga.

Aku yang tak mengerti apa itu menikah, hanya tersenyum-senyum malu. Dalam bayanganku, menikah adalah tidur seranjang dengan laki-laki. Intinya menikah itu berarti memiliki teman tidur siang dan malam. Seperti Mamak dan Bapakku, yang setiap saat tidur seranjang.

Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana pesta pernikahanku dilangsungkan. Sebagaimana aku mengingat mens pertamaku. Proses peluruhan dinding rahim yang membuatku mati kutu di depan kelas. Karena ketika guru menyuruhku maju ke depan kelas, mengerjakan soal sejarah di papan tulis. Seisi kelas riuh menertawakanku. Rok bagian belakangku bernoda merah darah, warnanya kontras sekali dengan warna rokku yang putih. Seperti sebuah gambaran pulau, bercak mens pertamaku menjadi bahan olok-olok teman sekelas.

Aku murung. Tak ada yang membelaku saat itu. Bahkan Bu Guru pun hanya bungkam dengan senyum simpul tanpa arti. “Jangan ribut, itu namanya mens.” Hanya itu yang terucap. Padahal aku sangat berharap, Bu Guru memberikan sedikit penjelasan tentang proses kewanitaan yang sedang aku alami, kepada teman-temanku agar rasa malu-ku menjadi sedikit terbentengi. Walaupun saat itu,kami tengah belajar sejarah. Tapi, apa salahnya jika Bu Guru memberi pengertian pada teman-temanku, bahwa semua wanita akan mengalami sebuah peluruhan dinding rahim yang tak dibuahi. Yaitu mens. A k a datang bulan. A k a haid.

*

Pesta pernikahanku berlangsung biasa saja. Tamu-tamu datang silih berganti. Ada yang ku kenal dengan baik, namun ada juga yang tidak ku kenal samasekali.

Saat pertama kali menatap diri sendiri dalam cermin, aku bahagia. Ternyata wajahku cukup ayu dalam balutan kebaya warna hitam. Rasanya seperti sedang menjadi seorang putri raja. Namun, kebahagiaan itu sirna berganti dengan rasa risih. Sesaat sesudah ijab kabul selesai dilaksanakan, beberapa kali Amir dengan sengaja meremas bokongku. Sesekali mencubit daguku. Sesekali mengusap-ngusap pundak atau punggungku. Sesekali mengerling nakal padaku. Dan, aku merasa ketakutan ketika menangkap sorot matanya yang seperti hendak memakanku.

Tiba-tiba saja senyum ceria gadis belia berusia 15 tahun memudar. Hatiku gelisah. Sikap Amir setelah ijab kabul, sangat meresahkan dan menakutkanku.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun