Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepada Made, dari Uluwatu

1 Januari 2016   22:38 Diperbarui: 2 Januari 2016   07:38 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumen pribadi Inem"][/caption]De,


Senja sore ini di Uluwatu tak meriah seperti biasanya. Karena tak kutemui celoteh riang debur Samudra Hindia di sana. Rasa-rasanya, di hamparan air yang palung, tak terlihat kilau-kilau keemasan mentari, saat bibir kalam melumat rakus bulatnya yang sempurna.

Senja sore ini pun kurasa sangat murung. Semurung tatapan seorang anak, yang mendapati mainan kesayangannya terkoyak.

*

Aku teringat ceritamu, De.


Bahwa senja di Uluwatu adalah senja terindah kiriman Sang Hyang Widhi, bahwa senja di Uluwatu adalah senja yang bertutur tentang perjuangan cinta antara Sri Rama dan Dewi Shinta.

Dan aku, aku tidak boleh melewatkannya. Bahkan kau pun melarangku untuk terlalu banyak mengkedipkan mata. “Lagipula berkedip terlalu banyak tidak baik untuk kulit wajahmu, membuatmu nampak keriput” ucapmu datar bercampur suara genit menggoda.

*
Senjanya kurang meriah, De.


Iya. Senja kali ini kurang meriah. Karena sejak pagi tadi, rindumu sudah datang bertamu. Seumpama pencuri dia datang mengendap-endap. Berjingkat-jingkat. Dan tanpa permisi, terjagaku yang belum genap dirampasnya. Rindumu tadi pagi nampak jahat.

De, mengapa warna saga di Uluwatu begitu merona ? Seumpama bunga Amarilis, saga di Uluwatu begitu menggoda untuk dipetik dan ku bawa pulang. Dan ku cumbu warna warninya yang terarsir megah.

*

Obor-obor makin riuh nyala apinya. Penari kecak pun makin asik dengan gerakan tangannya. Dan, dadaku sesak, De.

Dadaku nyeri, karena rinduku hari ini berjalan sendirian. Tertatih-tatih. Terpincang-pincang. Dan terkatung-katung. Sampai-sampai aku berpikir, ingin rasanya ku patahkan saja busur Dewi Cupid yang menancap tegak lurus di hatiku. Mencabutnya lalu mematahkannya menjadi seribu bagian, lalu melarungnya di Samudra Hindia. Seperti dirimu yang melarung abu kedua orangtuamu.
Namun De, kau tahu ? Itu tidak mungkin kulakukan, bukan ?

Tidak mungkin aku mematahkan dengan sengaja busur Dewi Cupid yang di ujung panahnya telah tertatah harapku padamu.

Aku terlanjur jatuh cinta padamu, De. Dan hal ini serupa aku menyesap psikotropika. Menyesapmu akan sangat menyiksaku, namun ketika aku memilih melepasmu maka aku akan terkapar, sakaw.

*

Akhirnya tarian kecak telah usai. Seperti yang telah di tulis pada Epos Ramayana. Sudah tentu Sri Rama lah pemenang dari pertarungannya melawan Rahwana.

Dan aku, aku beranjak meninggalkan senja di Uluwatu yang makin tegas menunjukan wajah murungnya.

*

De, tenggorokanku tiba-tiba tercekik. Aku sesak nafas.

Rupanya rindu yang kumamah bulat-bulat tadi pagi, tersangkut di kerongkonganku.

 

***

Oil City, 01-01-16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun