September telah menggenapi kepergiannya, dan menggantinya dengan cahaya yang menggambang di bulan Oktober. Aroma kopi hitam tanpa gula milikmu, ruarnya mulai menipis. Uapnya berjejalan naik ke udara, merupa segambar putus asa. Putus asamu yang mulai merasa jenuh yakinkanku.
Oktober baru saja mengawali harinya, namun di sana sini mulai terasa lembab. Puisimu yang berbinar perlahan redup. Yang tertinggal hanya nafas-nafas getas yang menamakan dirinya getir. Rindumu mulai bosan memoles dirinya sendiri. Kau pun melangkah pergi. Menjauh dariku yang terbiasa dengan hati yang biasa-biasa saja.
Selepas kepergianmu. Entah mengapa, ingatanku menjadi gila. Dia membabi buta membuat relief-relief pada setiap lapis otakku. Hingga, pada apapun yang kulalui, rindu padamu menjadi tokoh utamanya.
Hujan pertama di bulan Oktober datang berkunjung, mengetuk pintu hari jumat. Tidak biasanya ku nikmati hujan sendirian.
“Kamu, apa kabar?” lirihku mencoba melarung pertanyaan apa kabar untukmu. Melarungnya pada tetesan hujan yang menghujam bumi.
Rasa rindu dan rasa kedinginan berbaur menjadi satu. Melahirkan rasa tak terbantahkan bahwa sudah saatnya menjatuhkan rasa cinta padamu.
Akan tetapi, tidak mudah mengajak berkompromi hujan pertama di bulan Oktober. Sama tidak mudahnya dengan aku yang seorang perempuan, harus mengirim pesan padamu dan mengatakan “Aku juga ternyata cinta kamu.”
Namun aku sadar, bahwa akan semakin tidak mudah melalui titian waktu, jika aku tak segera mengatakan kalimat sakti ini.
Bahwa sesungguhnya “Aku telah jatuh cinta padamu. Sejatuh-jatuhnya cinta pada tempat terendah, di hatimu”
Akhir September mengiringi kedatangan Oktober. Puisi rindu mulai berdatangan satu persatu. Seikat bunga cinta ku rangkai riang, hendak ku kirimkan padamu.
Semoga rasamu masih sama.