Oleh : Inem Octora
Peserta no 10
Sebelum menemukanmu, diriku ibarat Manuskrip Voynich. Manuskrip yang hingga kini masih menjadi misteri. Tak terpecahkan namun tak terbantahkan. Aku menjadi sejarah yang tak mampu membantah kesepiannya sendiri.
Namun, dengan tiba-tiba kau datang. Tanpa angin yang berhembus, kau duduk diam menetap di lorong-lorong hatiku. Dan dengan tatapan polos, kau hardik resah sepiku. Kau pun membongkar bangunan-bangunan luka berdebu yang sengaja kubiarkan berlarut-larut.
Bahkan relung hatiku yang tak sedalam Samudra Hindia pun berhasil kau selami. “Kamu, terlalu lama menggenangi hatimu dengan kenangan penuh luka.” Katamu tanpa memperdulikan betapa malu sudah menjalar dan hinggap di seluruh tubuhku.
Malu. Ya, aku malu karena baru menyadari bahwa selama ini aku hanyalah seorang pecinta yang tak beradab.
Bahwa ternyata, relung hatiku yang dangkal ini telah begitu banyak menimbun “sampah luka.”
Kamu terus berceloteh riang, membongkar ini dan itu. Apa-apa yang kusimpan rapat terkuak semuanya.
Hingga akhirnya, air mataku tumpah ruah. Tersadar. Ternyata September telah beranjak meninggalkanku. Tetapi aku masih saja gagal menyimpulkan bait-bait puisi milikmu, yang kau rangkai dari aroma bunga dan dedaunan di depan kamarku.
Aku tersadar, betapa kerapnya aku lalai pada secangkir teh hijau yang sering kau sajikan di pagi hari saat aku terjaga, lalai pada kacang rebus yang kau bawa ketika kita duduk berhadapan di teras rumahku yang lantainya membeku kaku. Bahkan aku pun lalai, pada setumpuk rayuan yang kau hadirkan melalui lagu-lagu romantis.
Mungkin hatiku terlalu merasa biasa untuk menjatuhkan rasa cinta padamu. Terlalu menganggap biasa ajakanmu untuk membantai sepi. Mungkin, hatiku terbiasa menjadi biasa saja.
September telah menggenapi kepergiannya, dan menggantinya dengan cahaya yang menggambang di bulan Oktober. Aroma kopi hitam tanpa gula milikmu, ruarnya mulai menipis. Uapnya berjejalan naik ke udara, merupa segambar putus asa. Putus asamu yang mulai merasa jenuh yakinkanku.
Oktober baru saja mengawali harinya, namun di sana sini mulai terasa lembab. Puisimu yang berbinar perlahan redup. Yang tertinggal hanya nafas-nafas getas yang menamakan dirinya getir. Rindumu mulai bosan memoles dirinya sendiri. Kau pun melangkah pergi. Menjauh dariku yang terbiasa dengan hati yang biasa-biasa saja.
Selepas kepergianmu. Entah mengapa, ingatanku menjadi gila. Dia membabi buta membuat relief-relief pada setiap lapis otakku. Hingga, pada apapun yang kulalui, rindu padamu menjadi tokoh utamanya.
Hujan pertama di bulan Oktober datang berkunjung, mengetuk pintu hari jumat. Tidak biasanya ku nikmati hujan sendirian.
“Kamu, apa kabar?” lirihku mencoba melarung pertanyaan apa kabar untukmu. Melarungnya pada tetesan hujan yang menghujam bumi.
Rasa rindu dan rasa kedinginan berbaur menjadi satu. Melahirkan rasa tak terbantahkan bahwa sudah saatnya menjatuhkan rasa cinta padamu.
Akan tetapi, tidak mudah mengajak berkompromi hujan pertama di bulan Oktober. Sama tidak mudahnya dengan aku yang seorang perempuan, harus mengirim pesan padamu dan mengatakan “Aku juga ternyata cinta kamu.”
Namun aku sadar, bahwa akan semakin tidak mudah melalui titian waktu, jika aku tak segera mengatakan kalimat sakti ini.
Bahwa sesungguhnya “Aku telah jatuh cinta padamu. Sejatuh-jatuhnya cinta pada tempat terendah, di hatimu”
Akhir September mengiringi kedatangan Oktober. Puisi rindu mulai berdatangan satu persatu. Seikat bunga cinta ku rangkai riang, hendak ku kirimkan padamu.
Semoga rasamu masih sama.
Balikpapan, 01-10-15
NB:
- Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
- Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI