Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

{CERMIN} Nasehat Seorang Penjual Koran

22 September 2015   19:39 Diperbarui: 22 September 2015   20:06 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cerita seorang wanita biasa. Yang tengah berharap pada pertemuan yang biasa.

***


Sore itu mendung menggantung di angkasa. Bentuknya menyerupai payung raksasa berwarna hitam. Dengan air mata yang menggantung seorang wanita berlari menembus jalanan sore yang riuh.

“Aku harus segera sampai, sebelum hujan mengguyur bumi dan membasahi pakaianku. Serta melunturkan bedak dan lisptiskku” gumamnya.

Seperti halnya mendung yang menggantung di angkasa, sekilas pada matanya yang sipit oriental terlihat butiran-butiran air menggantung.

Seperti hendak luruh turun, namun ada sesuatu yang menahannya untuk tidak luruh. Pecah.

“Aku harus makin mempercepat langkah kakiku” ucapnya sambil memperlebar langkah kakinya.

Dua blok sudah terlewati, wanita itu berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Keningnya di penuhi peluh, seperti kawanan burung di padang ilalang.

“Huft, sampai juga” langkah kaki yang melangkah lebar-lebar kini mereda, wanita itu berhenti pada sebuah taman kota. Dengan banyak lampu remang-remang yang dibungkus lampion warna warni. Dan beberapa bangku-bangku ala aristokrat bertebaran pada tiap sudutnya.

Wajahnya menengadah ke langit, mencari kepastian kapan hujan akan segera turun. Sementara angkasa sudah memperkuat signalnya dengan menambah kepekatan warna awannya. Gulita.

“Hhhh...” nafasnya masih tersenggal-senggal.

Sekarang wanita itu melirik pergelangan tangannya. Sebuah arloji berwarna hijau tua melingkar utuh pada pergelangan tangannya yang kuning langsat. “19.45” katanya “...Aku tak terlambat”

Matanya mulai menelusuri tiap sudutnya. Seperti tengah mencari-cari sesuatu atau mungkin seseorang.

Keningnya berkerut-kerut, matanya menyipit-nyipit. Namun...sebuah tarikan nafas berhembus kuat-kuat “Ah, dia belum ada” lirihnya. Nada kekecewaan lebih dominan terdengar daripada nada do re mi fa so la si do.

Wanita itupun berbalik, memutar tubuhnya sebesar 180 derajat. Langkahnya tertuju pada penjual majalah di pojok taman kota.

“Untuk apa selalu kesini setiap kamis, sampai kapan pun kau tak akan bisa menemui atau melihatnya lagi” ujar penjual koran yang sepertinya sudah sangat mengenal wanita itu.

“Entahlah, Kek. Akupun tak tahu, untuk apa aku harus datang kesini setiap kamis malam” jawab wanita itu, pasrah bercampur getir. Tanpa menoleh pada sang penjual koran, memilih asik membuka lembar-lembar halaman majalah kawula muda edisi terbaru.

“Dia sudah tenang, ikhlaskan. Kelak, di surga kalian bisa berjumpa lagi” kata sang penjual koran sambil beranjak dari duduknya. Mengeluarkan sebuah plastik besar. Rupanya rintik-rintik hujan mulai luruh. Dan dirinya harus segera menyelamatkan koran-korannya dan majalah-majalahnya, agar tak koyak basah.

Wanita itu membuang nafas sekeras mungkin. Diletakannya majalah tersebut, bukan pada tempatnya. Jantungnya berdegub kencang. Seketika wanita itu membalikkan badannya. Pergi tanpa pamit. Meninggalkan taman itu dengan mempercepat langkahnya, bukan berlari.

“Pulanglah, Nak. Dan mulailah berbahagia” sang penjual korang berteriak pada wanita itu. Dirinya tak peduli nasehat yang diteriakannya akan terdengar atau tidak, sebab halilintar tiba-tiba saja muncul di angkasa. Seperti kuatnya pedang excalibur, kilatan cahayanya seolah membelah langit.

***


“Aku, rindu”

Wanita itu lirih mengucapkannya. Air yang menggantung di pelupuknya mulai bersiap-siap luruh. Rona kesedihan tergambar di wajahnya yang tirus, seperti tumpukan-tumpukan rasa sesal.

“Aku, rindu...”

Lirihnya kini berubah menjadi teriakan. Ibarat lolongan serigala yang terpisah dari kawanannya.

Tapi siapa yang mendengar ? payung raksasa yang menaungi cakrawala telah berubah menjadi milyaran rinai air hujan.

Masih dengan langkah kaki yang cepat, wanita itu berjalan menerobos hujan yang kian lebat. Ritme hujan yang turun, seirama dengan ritme air matanya yang luruh.

“Aku, rindu kamu. Aku. Rindu. Kamu” ucapnya terbata.

“Aku menyesal, mengapa aku tak punya waktu menemanimu. Menemuimu kamis itu. Setahun yang lalu”

***


Inilah kisah wanita itu. Seorang wanita biasa dengan cinta yang biasa namun menyesal luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun