Wanita itu lirih mengucapkannya. Air yang menggantung di pelupuknya mulai bersiap-siap luruh. Rona kesedihan tergambar di wajahnya yang tirus, seperti tumpukan-tumpukan rasa sesal.
“Aku, rindu...”
Lirihnya kini berubah menjadi teriakan. Ibarat lolongan serigala yang terpisah dari kawanannya.
Tapi siapa yang mendengar ? payung raksasa yang menaungi cakrawala telah berubah menjadi milyaran rinai air hujan.
Masih dengan langkah kaki yang cepat, wanita itu berjalan menerobos hujan yang kian lebat. Ritme hujan yang turun, seirama dengan ritme air matanya yang luruh.
“Aku, rindu kamu. Aku. Rindu. Kamu” ucapnya terbata.
“Aku menyesal, mengapa aku tak punya waktu menemanimu. Menemuimu kamis itu. Setahun yang lalu”
***
Inilah kisah wanita itu. Seorang wanita biasa dengan cinta yang biasa namun menyesal luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H