Sekarang wanita itu melirik pergelangan tangannya. Sebuah arloji berwarna hijau tua melingkar utuh pada pergelangan tangannya yang kuning langsat. “19.45” katanya “...Aku tak terlambat”
Matanya mulai menelusuri tiap sudutnya. Seperti tengah mencari-cari sesuatu atau mungkin seseorang.
Keningnya berkerut-kerut, matanya menyipit-nyipit. Namun...sebuah tarikan nafas berhembus kuat-kuat “Ah, dia belum ada” lirihnya. Nada kekecewaan lebih dominan terdengar daripada nada do re mi fa so la si do.
Wanita itupun berbalik, memutar tubuhnya sebesar 180 derajat. Langkahnya tertuju pada penjual majalah di pojok taman kota.
“Untuk apa selalu kesini setiap kamis, sampai kapan pun kau tak akan bisa menemui atau melihatnya lagi” ujar penjual koran yang sepertinya sudah sangat mengenal wanita itu.
“Entahlah, Kek. Akupun tak tahu, untuk apa aku harus datang kesini setiap kamis malam” jawab wanita itu, pasrah bercampur getir. Tanpa menoleh pada sang penjual koran, memilih asik membuka lembar-lembar halaman majalah kawula muda edisi terbaru.
“Dia sudah tenang, ikhlaskan. Kelak, di surga kalian bisa berjumpa lagi” kata sang penjual koran sambil beranjak dari duduknya. Mengeluarkan sebuah plastik besar. Rupanya rintik-rintik hujan mulai luruh. Dan dirinya harus segera menyelamatkan koran-korannya dan majalah-majalahnya, agar tak koyak basah.
Wanita itu membuang nafas sekeras mungkin. Diletakannya majalah tersebut, bukan pada tempatnya. Jantungnya berdegub kencang. Seketika wanita itu membalikkan badannya. Pergi tanpa pamit. Meninggalkan taman itu dengan mempercepat langkahnya, bukan berlari.
“Pulanglah, Nak. Dan mulailah berbahagia” sang penjual korang berteriak pada wanita itu. Dirinya tak peduli nasehat yang diteriakannya akan terdengar atau tidak, sebab halilintar tiba-tiba saja muncul di angkasa. Seperti kuatnya pedang excalibur, kilatan cahayanya seolah membelah langit.
***
“Aku, rindu”