&&&
Seiring waktu yang berjalan. Aku masih saja sama, tidak sempurna. Namun “anu-ku” makin sempurna.
Karena pada ladang rahimnya, pada bibit yang kusemai setiap waktu, akhirnya menunjukan buahnya.
Apakah aku bahagia ? Tidak. Aku tidak berbahagia. Dasar bodohjika ada pertanyaan seperti itu meluncur dari mulut seseorang.
Tentu-lah aku bahagia.
Seperti malam terdahulu, kali ini aku ajukan lagi pertanyaan yang nampak sama bodohnya, padanya.
“Dinda, apakah kau bahagia, bersamaku ?” Tanyaku. Dan tanganku menelusup dibalik gaun tidurnya. Mengelus lembut gundukan kenyalnya yang begitu aku puja keindahannya.
“Plak” Sebuah tamparan telak aku dapatkan.
“Kau…kenapa selalu bersikap bodoh, sudah cukuplah kebodohan yang mengikutimu selama ini.” Nadanya ketus.
Aku hanya terpana, tanganku refleks melepaskan gundukan itu dan menariknya keluar. Menatapnya tak percaya, karena inilah kali pertama peawanku bersikap begitu padaku.
“Dinda..kenapa?! Adakah yang salah dengan pertanyaan yang kau anggap bodoh itu” Tanyaku dengan tatap mata cengeng seperti banci yang kehilangan waktu onaninya.