Udara siang ini begitu terik sekali, kering menghampiri tenggorokanku. Dan membuat stimulasi pada otakku agar segera mencari sesuatu yang dingin.
Stimulasi itu ahkirnya mengirim pesan pada tanganku untuk meraih segelas limun dalam kulkas. Limun dingin yang sangat mengiurkan kesegarannya.
Tanpa menunggu proses dehidrasi, langsung ku teguk sensasinya. Dinginnya menjalar dari mulut, tenggorokan dan setelah itu pastinya akan menuju lambung. Kemudian berguling-guling ketika gerakan peristaltik melumatnya.
Setelah sensasi dinginnya memuaskan dahagaku. Yang tersisa kini hanya sebuah gelas kosong. Walau masih nampak beberapa bulir-bulir air tertinggal. Tapi beberapa itu tak sebanding bila harus menjadi jawaban sebuah rumus kepadatan benda. Bukankah kepadatan benda itu hanya bisa di kalkulasi melalui rumus perkalian matemateka.
Duduk dan menatap gelas kosong. Rasanya seperti sedang menatap kenangan.
Tentang kamu dan aku.
"....aku menemukannya ketika aku berada di suatu kondisi yang absurb, perasaan yang hanya berisi ketidakpastiaan, antara hidup dan mati, atau mungkin di antara kedua. Ya, aku mulai mencintainya ketika dia begitu lugas menari-nari di setiap inchi selaput tempurung otakku, senyumnya tak pernah terlewatkan oleh apapun, sepertinya dia tercipta dari sebuah garis tipis antara ujung dan sudut bibir..."
###
Menatap gelas kosong dengan kondisi kosong, mengingatkanku pada teori Hukum Kepler, yang di sempurnakan oleh Newton. Bahwa suatu orbit gerakan melingkar tidak harus selalu berbentuk lingkaran sempurna. Melainkan bergerak membentuk lintas elips.
Awal mula, kau dan aku masih bisa saling mengikat molekul-molekul air itu. Agar tidak terjadi destilasi. Tapi ternyata tak ada yang bisa menghentikan proses itu , begitu kuatnya mengelilingi. Maka, secara pelan namun pasti. Molekul-molekul itu menguap, naik keatas, dan menjadi awan.
Jika begitu, apa bedanya dengan kiasan, menginginkan sesuatu tanpa bisa memilikinya. Memperjuangkan sesuatu tanpa bisa memiliki hasilnya.