Kini, perempuan itu hanya bisa menunduk murung, ada yang harus diakhiri walau sebenarnya takkan pernah berahkir.
Berlembar-lembar sajak yang dulu di tulisnya, kini menjadi lembab termakan duka cita nya
Sajaknya kini berupa sunyi, yang tersusun dari ribuan hening dan jutaan diam. Sejak ingatannya memilih untuk membisu, dari sebuah kisah.
Hanya jari-jemarinyalah yang terus asik, menorehkan kisah kecewanya pada dinding-dinding waktu.
Konon menurut cerita, perempuan itu tak pernah ijinkan lagi indra pengingatnya untuk berfungsi dengan baik.
Membiarkan saja semua yang dirasakan mengalir, membuatnya merasa lebih baik. Daripada terucapkan namun semua terabaikan tanpa alasan.
Dan daripada tak terbalas dan terabaikan, maka perempuan itu menjadikan kisahnya menjadi frasa sunyi.
Jadi, pada sudut mana lagi perempuan itu harus meletakkan rasa rindunya. Pada trotoar yang pilu, kah ? Atau pada lampu-lampu jalanan nan redup pilu, yang sinarnya begitu karib meremang merupa siluetmu.
***
“Kau,
Tahukah kau yang bukan milikku lagi, bahwa rindu ini sudah mengejang begitu hebat. Tangan dan kakinya mengapai-gapai resah. Mencari jalan demi memecah rahim risaunya penantian.