Cobek dan muntu yang nampak pada foto di atas usianya sudah lebih dari sebelas tahun. Perangkat mengulek itu hadiah dari ibuku saat kulepas masa lajang. Â Seperangkat cobek dan muntu terbuat dari batu, dibeli di pasar Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah -- tempat kelahiran ibuku. Ibu membelinya saat beliau pulang kampung. "Ini asli dari batu pegunungan, kualitas terbaik, untuk anak gadisku yang akan jadi istri dan ibu," kata ibuku.
Ibu tidak cuma beli satu perangkat, tapi tiga. Anak gadis ibu ada tiga. Ibu menyiapkan satu perangkat masing-masing untuk anak gadisnya. Aku sempat terharu kalau mengingat saat ibu memboyong perangkat mengulek yang berat itu dari kampung ke Jakarta. Â Beliau naik kereta api. Subhanallah. Â Dan saat itu aku bahkan belum tahu siapa jodohku.
Saat aku menikah di awal tahun 2007, seperangkat cobek dan muntu batu itu resmi diserahkan ibu sebagai hadiah buatku. Ibu berpesan agar merawatnya baik-baik. Â "Mencucinya disikat dengan sikat khusus ya, lalu keringkan di dekat kompor agar kering sempurna," pesan ibu. Waktu itu ibu juga menyertakan sikat khusus untuk mencuci cobek dan muntu. Â Aku sangat terharu.
Belakangan, setelah pindah rumah mengikuti suamiku, baru aku paham betapa berharganya pemberian ibu. Â Cobek-muntu pemberiannya memang barang yahud. Â Aku nyaris tidak menemukan yang serupa itu di pasar biasa. Â Cobek dan muntu yang terbuat dari batu asli memang jarang ditemui di Jakarta. Â Kurawat pemberian ibu baik-baik. Pesan serupa untuk merawat cobek-muntu itu kusampaikan kepada asisten rumah tangga. Demi agar perabot itu awet.
Setiap kali mengulek bumbu masakan, aku selalu jadi ingat ibu. Â Ingat masakan ibu yang tidak ada bandingan rasanya. Sudah sebelas tahun aku menikah, aku masih belum bisa membuat sayur lodeh yang rasanya senikmat buatan ibu. Cinta ibuku hadir dalam perangkat cobek dan muntu, setiap hari. Â Saat aku mencucinya dengan sikat khusus, selalu ingat ketelatenan ibu merawat segala sesuatu.
Mungkin aku seperti orang gila, tapi aku sering duduk di dapur sambil memandangi cobek dan muntu hadiah dari ibu. Mengelus permukaan cobek yang makin lama makin halus karena sering dipakai, membuatku terkenang pada ibu. Muntunya, pernah dibanting-banting dimainkan oleh anakku yang bungsu. Â Ujungnya lalu gompal. Pecah sedikit. Beruntung, pecahannya bisa dipungut. Â Dengan susah payah, berhasil dilem kembali.
Waktu mendengar muntu pemberiannya pecah ujungnya, ibuku langsung mengirim muntu baru. Luar biasa, ibu bahkan menyimpan persediaan muntu batu asli buat anaknya. Jadilah aku punya cobek dengan dua muntu.Â
Tanpa disadari, lewat hadiah pemberiannya, ibu telah mengajari aku cara merawat, mencintai, dan memiliki. Lewat seperangkat cobek dan muntu. Beliau bukan sekedar memberi hadiah, tetapi menghidupkan cinta dalam perjalanan hidupku di rumah suamiku.
Ibu bagiku adalah pergulatan abadi, inspirasi hidup dan cinta, dan perjalanan panjang pengabdian. Â Pada potretnya, terkumpul semua yang kusebut keikhlasan pengorbanan.
Iya, ibuku adalah pergulatan abadi. Dalam benaknya bertempur antara ingin pergi piknik sejenak tapi ditundanya karena tidak sanggup meninggalkan anak-anak yang selalu rindu masakan dan bahkan bau tubuhnya. Dalam benaknya bergulat antara akan membeli sandal baru untuknya atau melupakan sejenak beberapa bulan ke depan. Â Uang untuk beli sandal baru, lebih dulu digunakan untuk membeli buku anak-anaknya.
Pergulatan itu abadi. Â Bahkan sampai anak-anak menjemput dewasa. Satu persatu anak-anak menikah, termasuk aku, lalu meninggalkan rumah ibu untuk mengikuti suami masing-masing. Ibu akan memastikan kesehatan anak-anaknya dan kadang mengabaikan kesehatannya sendiri.
Ibu, menjadi inspirasi hidup dan cinta bagiku.  Ia selalu bangun paling  awal dan tidur paling akhir. Selalu terjaga saat anak-anak sedang sakit. Ibu yang paling panjang doanya ketika anak-anak akan ujian akhir semester di sekolah. Ibu pula yang paling semangat membuatkan minuman panas untuk menemani belajar di malam hari.
Ibu, bagaikan sebuah perjalanan panjang pengabdian. Aku baru betul-betul memahaminya saat telah menjadi seorang ibu.  Setelah melahirkan anak pertamaku sembilan tahun yang lalu, menyusui, dan merawatnya, barulah aku benar-benar paham bagaimana rasa perjalanan panjang pengabdian itu dimulai. Lalu berlanjut sepanjang usia anak-anak untuk menemui kemandiriannya.
Pada potret ibuku, terkumpul semua yang disebut keikhlasan pengorbanan. Pada cobek dan muntu hadiah dari ibuku sebelas tahun lalu, ada energi cinta yang selalu mengalir dalam langkahku mengarungi kehidupan berkeluarga.
 Terima kasih Ibu untuk hadiah yang indah. (Opi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H