Mohon tunggu...
Novi Ardiani (Opi)
Novi Ardiani (Opi) Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Peradaban dari Dalam Rumah

9 September 2016   20:01 Diperbarui: 9 September 2016   20:03 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Rumah adalah miniatur peradaban, tempat suami dan istri menjalankan amanah sebagai pelaku peradaban. Oleh karenanya, rumah menjadi taman dan gerbang utama yang mengantarkan anggota keluarganya menuju peran peradabannya.”

Septi Peni Wulandani
Founder Institut Ibu Profesional

Senin malam tanggal 16 Mei lalu, Ibu Septi membuka kuliah online Matrikulasi Ibu Profesional dengan kalimat itu. Saya, sebagai salah satu peserta kuliah, mencatatnya baik-baik. Diam-diam menelisik, saya mencoba mempertanyakan peradaban yang sebenarnya sedang saya bangun bersama suami saat ini. Saya menepi di malam sunyi, usai kuliah, merenungi peran spesifik keluarga seperti apa yang sedang saya dan suami jalani untuk membangun peradaban.

Tidak mudah bagi saya, karena dalam hidup berkeluarga saya merasakan banyak ketidaksempurnaan saya baik sebagai istri maupun ibu. Beberapa kali saya pun pernah merasa gagal menjadi istri yang baik. Merasa gagal dan gagal lagi. Sampai saya pernah berpikir, seandainya memang saya telah gagal menjadi istri yang baik, semoga saya masih mempunyai kesempatan untuk menjadi ibu yang baik. Tetapi, bukankah istri dan ibu merupkan peran yang terintegrasi? Well, no one perfect.

Kuliah Matrikulasi Ibu Profesional di sessi Membangun Peradaban dari dalam Rumah ini kemudian menjadi titik acu bagi diri saya untuk melupakan kegagalan yang pernah saya rasakan. Mungkin, ini saatnya saya mencoba lagi. Walaupun saya merasakan ada titik ragu di buncah niat, saya jalan terus. Dan sekali lagi ini tidak mudah bagi saya. Pekerjaan rumah yang harus dibuat baru bisa saya kerjakan di ujung deadline. Bisa saja sih, kalau saya kerjakan asal-asalan, tetapi saya tidak yakin akan bebas gagal jika asal-asalan.

Ini pekerjaan rumah dari Bu Septi yang harus dikerjakan:
Jatuh cintalah kembali kepada suami anda, buatlah surat cinta yang menjadikan anda memiliki “alasan kuat” bahwa dia layak menjadi ayah bagi anak-anak anda. Berikan kepadanya dan lihatlah respon dari suami
Lihatlah anak-anak anda, tuliskan kekuatan potensi dari mereka, siasati kelemahan masing-masing
Lihatlah diri anda, silakan cari kekuatan potensi diri anda. Kemudian tengok kembali anak dan suami, silakan baca kehendak Alalh, mengapa anda dihadirkan di tengah-tengah keluarga seperti ini dengan bekal kekuatan potensi yang anda miliki
Lihat lingkungan di mana anda tinggal saat ini, tantangan apa saja yang ada di depan anda? Kearifan lokal apa yang anda lihat? Adakah anda menangkap maksud Allah, mengapa keluarga anda dihadirkan di sini?
Setelah menjawab pertanyaan a-d, sekarang belajarlah memhami sebenarnya “peran spesifik keluarga” anda di muka bumi ini.

Saya merasa sedikit gundah ketika mulai mengerjakan poin a. Malas rasanya, entah kenapa. Saya terlalu suka dan butuh menulis, tetapi entah kenapa saya tidak tahu apa yang harus saya tulis dalam surat cinta. Akhirnya, yang saya tulis dalam surat itu hanya permintaan maaf bahwasanya saya belum bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Saya sampaikan pula bahwa saya masih berharap kesempatan untuk memperbaiki diri ke depannya.

Surat itu saya tulis di notes suami saya, buku kecil tempatnya biasa mencatat hal-hal penting dari buku-buku bacaannya. Dengan harapan, beliau akan membacanya tanpa saya minta. Tapi karena ingin mendapatkan respon segera, saya sengaja menyodorkan notes itu kepadanya setelah anak-anak tidur. Kebetulan suami saya ada di rumah selama beberapa hari sepulangnya dari Belanda dan sebelum keberangkatnnya ke Filipine untuk tugas berikutnya.

Respon beliau tidak seperti dugaan saya. Saya kira beliau akan panjang lebar menguraikan kewajiban istri sebagaimana diajarkan dalam agama, lalu akan menguraikan kekurangan saya satu persatu, lalu menasehati dengan berbagai dalil, seperti bisasanya. Yang kebanyakan akan saya dengar hanya di awal dan akhir kalimat. O, tidak. Responnya hanya,”Kok tumben? Ada apa nih?”

Dan saya merespon,” Udah, gitu aja?”
Ceritanya tidak cuma begitu saja, sebab pada akhirnya sepasang suami istri ini saling bermaafan. Masing-masing menyadari ada kekurangan-kekurangan masing-masing. Tetapi kami percaya ketika nyaris sepuluh tahun berjalan dan keluarga ini masih bertahan, ada satu hal yang menjadi landasan bahwa kami sama-sama menginginkan keselamatan di dunia dan akhirat. Kami masing-masing percaya bahwa keluarga inilah ladang amal yang pertama.

Walaupun kami berdua sering tidak sepaham dalam berkomunikasi, sering tidak sependapat, tetapi karena satu landasan ini masih sama, itulah yang membuat semua perbedaan pendapat di hal lainnya menjadi hanya seperti suara auman singa di padang pasir….hilang dengan sendirinya ditelan luasnya padang.

Saya hanya perlu lebih legowo untuk menerima pasangan saya apa adanya, sebagaimana beliau pun berusaha demikian kepada saya. Dalam prosesnya, akan ada penolakan-penolakan, tetapi karena kami percaya bahwa proses menjadi baik adalah proses seumur hidup, kami sepakat untuk menikmati proses ini. Oke, we will see then……

Melangkah ke poin b, buat saya sedikit lebih mudah. Mempelajari potensi anak-anak saya, dan menyiasati kelemhan mereka, adalah sesuatu yang selalu saya lakukan sejak mereka memasuki usia 4 tahun. Anak saya dua orang, putra dan putri. Anak sulung saya, laki-laki berusia 7 tahun, saya amati dalam perkembangannya adalah anak dengan gaya belajar kinestetik. Ia tidak akan betah mendengarkan dongeng sambil duduk diam. Tangannya akan terus bergerak membuat origami, atau melakukan gerakan-gerkan. Logika dan kemampuan verbalnya berkembang lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya. Ketika baru lancar bicara, di usia belum 3 tahun, sulungku sudah bisa mengungkapkan dengan kata-kata yang jelas,”Terima aksih ibu sudah buatin aku susu. Nanti kalau ibu sudah tua, gantian aku yang buatin ibu susu, karena kalau ibu sudah tua, ibu sudah lemah seperti eyang uti.” Mungkin, karena pengaruh lingkungan sejak kecil berada di tengah banyak orang dewasa.

Pada usia tiga tahun, sulung sering saya bawa ke kampus. Ketika itu saya sedang hamil adiknya dan saya menjalani tugas belajar kuliah di Pascsarjana FEUI, Depok. Saat kuliah, saya dudukkan dia di kursi belakang, dengan mainan dan buku-buku bacaannya. Seringkali dia tertidur karena 3 jam kuliah mungkin cukup melelahkannya. Mungkin dia menjadi terbiasa melihat orang dewasa berdiskusi, sehingga menyerap kosa-kata yang lebih beragam. Itu juga mungkin sebabnya ia menjadi lebih banyak bertanya, ingin tahu tentang apa yang dilakukan orang dewasa.

Sulungku termasuk anak yang kreatif. Dia suka merancang karya yang dikarangnya sendiri. Menciptakan sesuatu hasil dari idenya sendiri. Di usia nya yang masih 7 tahun juga termasuk mandiri, bisa mengatasi hal-hal yang dihadapi di sekolah saat tidak ada ibu untuk bertanya. Dia suka sekali membaca. Kalau sudah membaca, bisa lupa segalanya. Namun, saya amati dejak usia 3 tahun sampai sekarang, si sulung ini terlalu baik kepada siapapun. Pertahanan dirinya kurang oke. Jika mainannya diambil teman, atau dia diejek teman, tak pernah marah atau membalas. Hanya diam saja. Saya lalu berkomunikasi dengan guru-gurunya, untuk membahas hal ini. Alhamdulillah, mereka kooperatif. Kami satu suara untuk melatih sulung agar berani mengtakan TIDAK saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain. Saya paham ini butuh proses, karena saya sendiri mengalaminya. Saya termasuk orang yang diam saja jika disakiti, bertahun-tahun sampai dewasa. Sehingga saya belajar dari potret ini ketika hal yang sama terjadi pada anak sulung saya.

Si bungsu, perempuan, kini 4,5 tahun usianya. Saat ini kelihatan masih dalam fase pembangkangan. Semua yang dilarang, dilakukan. Butuh sabar. Saya belum begitu paham apakah bungsu ini termasuk tipe visual, auditory, atau kinestetik. Kelihatannya ia masih meniru apapun yang dilakukan kakaknya. Namun saya amati logika dan verbalnya nampak maju dibandingkan anak-anak seusianya. Dia sudah lancar berbicara untuk menasihati ibunya atau kakaknya atau ayahnya jika ada hal yang tidak seharusnya kami lakukan. Saya beruntung, kedua anak saya memiliki dasar logika berpikir dan kemampuan verbal yang menonjol. Si bungsu namun seorang yang kelihatannya punya bakat untuk acting, menarik perhatian orang dengan cara-cara yang sama sekali tidak kita duga. Ini sering digunakannya untuk tujuan yang menyenangkan dirinya sendiri. Saya menyiasatinya dengan berusaha untuk memberinya waktu lebih untuk memperhatikan, melayaninya bicara, memeluk dan bersenda gurau. Sebab, kelihatannya jika diberi perhatian yang cukup, si bungsu mengurangi actingnya yang berlebihan.

Untuk poin c, wow, ini bagian yang paling mudah saya jawab. Karena kebetulan sekali beberapa waktu belakangan ini saya baru sampai di tahap menemukan potensi diri saya yang paling mungkin untuk saya kembangkan ke depan. Saya memiliki passion yang membara di dunia tulis menulis dan berbicara di depan orang banyak. Saya tipe orang yang suka membaca, dan belajar hal-hal baru sesuai dengan dinamika zaman. Saya tipe pembelajar yang suka sharing dengan orang lain. Kepuasan diri saya adalah ketika apa yang saya tulis dan sampaikan kepada orang lain bisa bermanfaat secara langsung bagi orang banyak. Saya ingin menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menjadi lebih baik, menjadi diri masing-masing, dan berkontribusi sesuai fitrahnya.

Menjawab poin c, jika saya tengok kembali diri saya, suami, dan anak-anak, keluarga kami, nampaknya Allah memang maha adil menempatkan saya di keluarga seperti ini. Saya sering terpisah jarak dengan suami, dan saya tipe perempuan yang mandiri namun cenderung tidak sabaran. Sebaliknya, suami saya sangat sabar, tetapi kondisi menyebabkan kami sering terpisah, sehingga saya memang harus mandiri. Anak-anak pun ternyata mewarisi sifat-sifat ibunya, dan ketika saya melihat kemiripan itu saya menyadari untuk bisa memahami anak-anak saya. Karena saya paham rasanya, dan saya seorang pembelajar, saya mau membuka diri untuk belajar dari manapun agar bisa menghadapi anak-anak saya dengan kemandirian.

Poin d tentang lingkungan tempat keluarga kami menetap, mungkin adalah poin yang cukup unik bagi kami. Kami menetap di pinggiran Kota Depok, di rumah yang kami beli bersama dengan mencicil, sampai sekarangpun belum lunas. Alhamdulillah, di rumah ini di tengah lingkungan yang Islami, kami tumbuh. Kompleks perumahan kami dihuni oleh sebagian besar keluarga muda dengan jumlah anak 2 atau 3. Sangat menyenangkan, karena organisasi di lingkungan sekitar tempat tinggal kami dipimpin oleh orang-orang muda urban. Di sini, gerakan gerakan masyarakat madani terasa sangat mengemuka. Gerakan cinta lingkungan, yang dimotori perempuan melalui Komunitas Tangan Peduli Lingkungan , gerakan Bank Sampah, memilah sampah, One Day One Juz untuk mengencourage para ayah dan ibu, gerakan untuk lebih mempelajari Al Quran, semuanya berjalan simultan.

Depok mungkin memang dikenal sebagai Kota yang didominasi muslim pendukung partai tertentu. Tapi saya melihatnya tidak dari sisi itu. Mengapa saya dan keluarga lalu bisa memilih untuk menetap di kota ini, dan merasakan betah tak ingin pindah ke Jakarta?….
Mungkin karena saya dan suami adalah para pembelajar yang selalu ingin membenahi diri, kondisi seperti lingkungan kami sekarang adalah kondisi yang mendukung. Banyak pemikiran baru dan gagasan yang muncul serta dikembangkan di lingkungan tempat kami tinggal. Ini sangat kondusif. Bagi anak-anak inipun menjadi wahana pembelajaran dengan bimbingan kami, orang tuanya. Kami merasa tumbuh dan menjadi lebih baik dalam lingkungan ini.

Akhirnya, sampai di poin e, saya mulai belajar memahami apa sebenarnya peran spesifik keluarga kami di muka bumi ini. Belum sepenuhnya terasa jelas, tapi saya merasa bahwa keluarga kami adalah keluarga pembelajar yang senantiasa menyaring dinamika baru dan mencocokkannya dengan apa yang memang kami butuhkan. Kami tumbuh, dan ingin menjadi inspirasi bagi keluarga lain. Walaupun pada dasaranya kami terinspirasi juga dari keluarga-keluarga lain. Dalam keunikan tertentu, akhirnya ternyata satu sisi keluarga bisa bermanfaat bagi sisi lain keluarga lain. Jadi memang pembelajaran ini tak seharusnya berhenti.

Tak mudah, sungguh tak mudah buat saya memahami betul-betul tentang peran spesifik keluarga. Tetapi kalimat penutup kuliah malam itu oleh Bu Septi, membuat saya yakin bahwa peran itu sedang kami bangun melalui pendidikan anak dan berkarya serta bekerja. “Kelak, anda akan membuktikan bahwa antara pekerjaan, berkarya dan mendidik anak, bukanlah sesuatu yang terpisahkan sehingga harus ada yang dikorbankan. Semuanya akan berjalan seiring selaras dengan harmoni irama kehidupan. “ Itulah kelimat penutup Bu Septi dalam kuliah Membangun Peradaban dari Dalam Rumah. Saya menerjemahkannya sebagai: “Mendekatlah selalu ke garis keseimbangan, agar tercipta harmoni yang utuh.”

Perlahan tapi pasti, saya sedang dalam proses itu.(Opi)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun