Saya hanya perlu lebih legowo untuk menerima pasangan saya apa adanya, sebagaimana beliau pun berusaha demikian kepada saya. Dalam prosesnya, akan ada penolakan-penolakan, tetapi karena kami percaya bahwa proses menjadi baik adalah proses seumur hidup, kami sepakat untuk menikmati proses ini. Oke, we will see then……
Melangkah ke poin b, buat saya sedikit lebih mudah. Mempelajari potensi anak-anak saya, dan menyiasati kelemhan mereka, adalah sesuatu yang selalu saya lakukan sejak mereka memasuki usia 4 tahun. Anak saya dua orang, putra dan putri. Anak sulung saya, laki-laki berusia 7 tahun, saya amati dalam perkembangannya adalah anak dengan gaya belajar kinestetik. Ia tidak akan betah mendengarkan dongeng sambil duduk diam. Tangannya akan terus bergerak membuat origami, atau melakukan gerakan-gerkan. Logika dan kemampuan verbalnya berkembang lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya. Ketika baru lancar bicara, di usia belum 3 tahun, sulungku sudah bisa mengungkapkan dengan kata-kata yang jelas,”Terima aksih ibu sudah buatin aku susu. Nanti kalau ibu sudah tua, gantian aku yang buatin ibu susu, karena kalau ibu sudah tua, ibu sudah lemah seperti eyang uti.” Mungkin, karena pengaruh lingkungan sejak kecil berada di tengah banyak orang dewasa.
Pada usia tiga tahun, sulung sering saya bawa ke kampus. Ketika itu saya sedang hamil adiknya dan saya menjalani tugas belajar kuliah di Pascsarjana FEUI, Depok. Saat kuliah, saya dudukkan dia di kursi belakang, dengan mainan dan buku-buku bacaannya. Seringkali dia tertidur karena 3 jam kuliah mungkin cukup melelahkannya. Mungkin dia menjadi terbiasa melihat orang dewasa berdiskusi, sehingga menyerap kosa-kata yang lebih beragam. Itu juga mungkin sebabnya ia menjadi lebih banyak bertanya, ingin tahu tentang apa yang dilakukan orang dewasa.
Sulungku termasuk anak yang kreatif. Dia suka merancang karya yang dikarangnya sendiri. Menciptakan sesuatu hasil dari idenya sendiri. Di usia nya yang masih 7 tahun juga termasuk mandiri, bisa mengatasi hal-hal yang dihadapi di sekolah saat tidak ada ibu untuk bertanya. Dia suka sekali membaca. Kalau sudah membaca, bisa lupa segalanya. Namun, saya amati dejak usia 3 tahun sampai sekarang, si sulung ini terlalu baik kepada siapapun. Pertahanan dirinya kurang oke. Jika mainannya diambil teman, atau dia diejek teman, tak pernah marah atau membalas. Hanya diam saja. Saya lalu berkomunikasi dengan guru-gurunya, untuk membahas hal ini. Alhamdulillah, mereka kooperatif. Kami satu suara untuk melatih sulung agar berani mengtakan TIDAK saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain. Saya paham ini butuh proses, karena saya sendiri mengalaminya. Saya termasuk orang yang diam saja jika disakiti, bertahun-tahun sampai dewasa. Sehingga saya belajar dari potret ini ketika hal yang sama terjadi pada anak sulung saya.
Si bungsu, perempuan, kini 4,5 tahun usianya. Saat ini kelihatan masih dalam fase pembangkangan. Semua yang dilarang, dilakukan. Butuh sabar. Saya belum begitu paham apakah bungsu ini termasuk tipe visual, auditory, atau kinestetik. Kelihatannya ia masih meniru apapun yang dilakukan kakaknya. Namun saya amati logika dan verbalnya nampak maju dibandingkan anak-anak seusianya. Dia sudah lancar berbicara untuk menasihati ibunya atau kakaknya atau ayahnya jika ada hal yang tidak seharusnya kami lakukan. Saya beruntung, kedua anak saya memiliki dasar logika berpikir dan kemampuan verbal yang menonjol. Si bungsu namun seorang yang kelihatannya punya bakat untuk acting, menarik perhatian orang dengan cara-cara yang sama sekali tidak kita duga. Ini sering digunakannya untuk tujuan yang menyenangkan dirinya sendiri. Saya menyiasatinya dengan berusaha untuk memberinya waktu lebih untuk memperhatikan, melayaninya bicara, memeluk dan bersenda gurau. Sebab, kelihatannya jika diberi perhatian yang cukup, si bungsu mengurangi actingnya yang berlebihan.
Untuk poin c, wow, ini bagian yang paling mudah saya jawab. Karena kebetulan sekali beberapa waktu belakangan ini saya baru sampai di tahap menemukan potensi diri saya yang paling mungkin untuk saya kembangkan ke depan. Saya memiliki passion yang membara di dunia tulis menulis dan berbicara di depan orang banyak. Saya tipe orang yang suka membaca, dan belajar hal-hal baru sesuai dengan dinamika zaman. Saya tipe pembelajar yang suka sharing dengan orang lain. Kepuasan diri saya adalah ketika apa yang saya tulis dan sampaikan kepada orang lain bisa bermanfaat secara langsung bagi orang banyak. Saya ingin menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menjadi lebih baik, menjadi diri masing-masing, dan berkontribusi sesuai fitrahnya.
Menjawab poin c, jika saya tengok kembali diri saya, suami, dan anak-anak, keluarga kami, nampaknya Allah memang maha adil menempatkan saya di keluarga seperti ini. Saya sering terpisah jarak dengan suami, dan saya tipe perempuan yang mandiri namun cenderung tidak sabaran. Sebaliknya, suami saya sangat sabar, tetapi kondisi menyebabkan kami sering terpisah, sehingga saya memang harus mandiri. Anak-anak pun ternyata mewarisi sifat-sifat ibunya, dan ketika saya melihat kemiripan itu saya menyadari untuk bisa memahami anak-anak saya. Karena saya paham rasanya, dan saya seorang pembelajar, saya mau membuka diri untuk belajar dari manapun agar bisa menghadapi anak-anak saya dengan kemandirian.
Poin d tentang lingkungan tempat keluarga kami menetap, mungkin adalah poin yang cukup unik bagi kami. Kami menetap di pinggiran Kota Depok, di rumah yang kami beli bersama dengan mencicil, sampai sekarangpun belum lunas. Alhamdulillah, di rumah ini di tengah lingkungan yang Islami, kami tumbuh. Kompleks perumahan kami dihuni oleh sebagian besar keluarga muda dengan jumlah anak 2 atau 3. Sangat menyenangkan, karena organisasi di lingkungan sekitar tempat tinggal kami dipimpin oleh orang-orang muda urban. Di sini, gerakan gerakan masyarakat madani terasa sangat mengemuka. Gerakan cinta lingkungan, yang dimotori perempuan melalui Komunitas Tangan Peduli Lingkungan , gerakan Bank Sampah, memilah sampah, One Day One Juz untuk mengencourage para ayah dan ibu, gerakan untuk lebih mempelajari Al Quran, semuanya berjalan simultan.
Depok mungkin memang dikenal sebagai Kota yang didominasi muslim pendukung partai tertentu. Tapi saya melihatnya tidak dari sisi itu. Mengapa saya dan keluarga lalu bisa memilih untuk menetap di kota ini, dan merasakan betah tak ingin pindah ke Jakarta?….
Mungkin karena saya dan suami adalah para pembelajar yang selalu ingin membenahi diri, kondisi seperti lingkungan kami sekarang adalah kondisi yang mendukung. Banyak pemikiran baru dan gagasan yang muncul serta dikembangkan di lingkungan tempat kami tinggal. Ini sangat kondusif. Bagi anak-anak inipun menjadi wahana pembelajaran dengan bimbingan kami, orang tuanya. Kami merasa tumbuh dan menjadi lebih baik dalam lingkungan ini.
Akhirnya, sampai di poin e, saya mulai belajar memahami apa sebenarnya peran spesifik keluarga kami di muka bumi ini. Belum sepenuhnya terasa jelas, tapi saya merasa bahwa keluarga kami adalah keluarga pembelajar yang senantiasa menyaring dinamika baru dan mencocokkannya dengan apa yang memang kami butuhkan. Kami tumbuh, dan ingin menjadi inspirasi bagi keluarga lain. Walaupun pada dasaranya kami terinspirasi juga dari keluarga-keluarga lain. Dalam keunikan tertentu, akhirnya ternyata satu sisi keluarga bisa bermanfaat bagi sisi lain keluarga lain. Jadi memang pembelajaran ini tak seharusnya berhenti.
Tak mudah, sungguh tak mudah buat saya memahami betul-betul tentang peran spesifik keluarga. Tetapi kalimat penutup kuliah malam itu oleh Bu Septi, membuat saya yakin bahwa peran itu sedang kami bangun melalui pendidikan anak dan berkarya serta bekerja. “Kelak, anda akan membuktikan bahwa antara pekerjaan, berkarya dan mendidik anak, bukanlah sesuatu yang terpisahkan sehingga harus ada yang dikorbankan. Semuanya akan berjalan seiring selaras dengan harmoni irama kehidupan. “ Itulah kelimat penutup Bu Septi dalam kuliah Membangun Peradaban dari Dalam Rumah. Saya menerjemahkannya sebagai: “Mendekatlah selalu ke garis keseimbangan, agar tercipta harmoni yang utuh.”