Ironi terpampang di hadapan. Tengoklah di pinggiran kota, gunungan sampah berpunuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) makin meluas. Hamparannya menaburkan bau menusuk hidung hingga sekian kilometer beranjak. Sampah itu bercampur baur antara organik dan non organik, 60% lebih diantaranya adalah sampah rumah tangga*. Lalu simaklah di sisi yang lain, masyarakat di berbagai wilayah dan pelosok terjepit oleh harga bahan bakar yang selalu berdampak ekonomi sulit. Ketika harga bahan bakar naik, -baik bahan bakar minyak maupun gas- serta merta diikuti oleh kenaikan harga barang kebutuhan hidup yang lainnya, tanpa diikuti oleh kenaikan pendapatan yang setara. Namun ketika harga bahan bakar diumumkan turun oleh Pemerintah, tidak serta merta diikuti oleh turunnya harga barang kebutuhan hidup yang lainnya. Miris dan pahit. Kemudian lihat dan dengarlah pujian dari berbagai penjuru dunia, tentang Indonesia yang kaya sumber daya alam. Dan ironi ini selalu terpampang di hadapan.
Dari ironi yang terpampang tersebut, sebetulnya dapat kita tarik benang merah bahwa ada permasalahan sampah dan kebutuhan energi yang berlarut-larut terjadi di Indonesia yang notabene kaya akan sumber daya alam. Dan apabila kita cermati, sebetulnya sampah dapat menjawab kebutuhan energi, jika kita mau mengelolanya. Mengelola sampah menjadi sumber energi, sepertinya memang tak akan dengan mudah populer seperti membalikkan telapak tangan. Kenapa?... Karena kita belum merasa dalam kondisi benar-benar terdesak.
Saking kayanya Indonesia akan sumber daya alam, termasuk berbagai sumber energi, membuat kita terbiasa dengan sikap santai dan pikiran bahwa,”ah sekarang kan masih bisa”. Mungkin, pada saat kita sudah betul-betul terdesak dan tidak punya jalan lain, barulah tergerak untuk secara luas dan nasional memanfaatkan sumber energi yang sebelumnya tidak terpopulerkan. Tidak terkecuali sampah. Tapi, sebetulnya kita wajib waspada, jangan-jangan sebelum kita menyadari dan memanfaatkan potensialnya berbagai sumber energi di Kepulauan Nusantara, negara lain sudah lebih dulu memanfaatkannya dengan metode kapitalisme. Tambah lagi ironinya. Bisa-bisa kita tinggal gigit jari.
Asalkan ada kemauan, sampah mampu membuka jalan untuk membuktikan bahwa Indonesia yang kaya sumber daya alam itu bisa mandiri memenuhi kebutuhan energinya, bahkan sangat mungkin menjadi pemasok kebutuhan energi dunia. Mengapa tidak? Mari kita simak.
Selama ini kita terlalu tergantung pada bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis. Bersamaan dengan itu, di hadapan kita ada berbagai sumber energi yang belum secara signifikan menggantikan posisi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Kalaupun ada, skalanya masih dalam bentuk percontohan-percontohan, yang kemudian tiba-tiba menghilang ketika sudah tak ada lagi pendonor dana. Media pun seperti setengah hati meletupkannya. Mungkin, berita debat dan politik pencitraan jauh lebih penting serta bernilai jual dibanding upaya mendidik bangsa menjadi mandiri energi. Untuk skala nasional, bahan bakar fosil masih tetap hits.
Kita semua tahu, sumber bahan bakar fosil tersebut dalam waktu dekat akan habis. Perusahaan pertambangan seperti halnya Pertamina (http://www.pertamina.com) mulai menata visi baru untuk ke depannya memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan secara terintegrasi. Sejalan dengan itu, para peneliti dan akademisi telah mengambil andil untuk mengemuka dengan usulan-usulan sumber energi baru bagi Indonesia ke depan. Salah satu yang cukup layak dipertimbangkan adalah memanfaatkan limbah dan sampah organik untuk menghasilkan biogas.