[caption id="attachment_377377" align="alignnone" width="960" caption="Noverius Laoli"][/caption]
Komunitas Masyarakat Nias (Ono Niha) di daerah Sibolga dan sekitarnya sudah ada sejak lama. Belum ada data yang pasti menceritakan sejak kapan persis ada pergerakan komunitas Ono Niha dari Pulau Nias dan tinggal menetap daerah Sibolga dan sekitarnya. Dari waktu ke waktu jumlah komunitas suku nias ini terus bertambah dan berkembang.
Sebagian besar masyarakat Nias yang berada di Sibolga adalah petani. Mereka umumnya petani karet, bekerja di sawah, dan merambah hutan dan sebagian berprofesi penebang kayu ilegal dan legal untuk dijual. Mereka umumnya bekerja di perusahaan kecil milik orang lain atau kebun milik masyarakat setempat.
Seperti masyarat pada umumnya, Masyarakat Nias yang berada di perantauan mendorong mereka membentuk komunitas sendiri. Komunitas tersebut perlahan-lahan membesar dan menjadi desa. Budaya dan bahasa Nias juga tetap dipertahankan dan diturunkan ke generasi berikutnya.
Mereka menghadirkan adat istiadat di Nias di tempat perantauan yang baru. Kendati begitu, adat dan budaya tersebut sudah disesuaikan dengan budaya dan adat setempat di mana mereka tinggal. Budaya Nias yang dipertahankan tidak sekental ketika masih berada di Pulau Nias. Kemudian sejarah dan cerita tentang Nias tetap dituturkan kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka sehingga jati diri sebagai Orang Nias tetap terjaga.
Sebagai salah satu generasi yang lahir di daerah Sibolga, saya mengenal Pulau Nias dan adat istiadatnya dari penuturan orang tua. Kisah-kisah tentang Nias pun masuk ke dalam pikiran saya berdasarkan cerita-cerita orang tua yang kerap mengisahkan kehidupan mereka selam berada di Nias. Cara berpikir saya pun terbentuk masih seperti orang Nias di Pulau Nias.
Ayah saya adalah salah satu generasi Nias di daerah Sibolga yang berprofesi sebagai petani karet. Ia merantau ke Pulau Sumatra yakni di Sibolga pada usia yang sangat belia yakni 12 tahun. Tekanan ekonomi dan kehidupan yang tidak menjanjikan di Nias membuatnya harus meninggalkan pulau kelahirannya.
Sejak kecil Ayah sudah menjadi anak piatu, dimana ibunya meninggal dunia ketika ia masih sangat kecil berusia kurang dari lima tahun. "Saya tahu wajah ibu saya dari foto yang ada di rumah," ujarnya suatu waktu.
Sementara Ayahnya, seorang pemabuk dan malas kerja. Setiap malam saat pulang dari warung setelah menengguk minuman keras, ia pulang ke rumah dan memukul anak-anaknya tanpa sebab. Kondisi itu membuat Ayah lebih cepat dewasa dari usianya dan memutuskan merantau ke negeri orang.
Di perantauan di daerah Sibolga, di situlah ayah bertemu dengan komunitas masyarakat Nias dan menemukan jodohnya. Kemudian membangun rumah tangga dan tinggal di daerah dimana komunitas orang Nias ada. Daerah itu bernama Desa Lubuk Ampolu. Desa ini berjarak sekitar 25 kilometer dari kota Sibolga. Dan hanya setengah jam perjalanan dari Bandar Udara Dr. Ferdinand Lumban Tobing di Pinang Sori.
[caption id="attachment_377380" align="aligncenter" width="300" caption="Kebun karet di Sitonggi-Tonggi, (12/11/2014), Noverius Laoli"]
Komunitas Masyarakat Nias di daerah ini sudah ada sejak lama. Masyarakat Nias yang tinggal di daerah ini sudah ada yang sampai empat generasi. Awalnya lebih dikenal nama daerah ini sebagai Sitonggi-tonggi, dimana di situ tinggal 100% Orang Nias, sementara di daerah Lubuk Ampolu, dimana tinggal 90% orang Batak. Namun perbandingan antara penduduk bersuku bangsa Nias dengan Batak yang sudah ada lebih dulu semakin pincang. Dimana jumlah masyarakat Nias berkembang pesat dan menjadi mayoritas.
Hal itu terlihat ketika pada pertengahan tahun 1990-an, Kepala Desa di Desa Lubuk Ampolu sudah diambilalih masyarakat Nias. Padahal, pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an, kepala Desa di Desa Lubuk Ampolu ini masih dipimpin orang Batak.
Namun sejak pertengahan tahun 1990-an, sampai sekarang, Kepala Desa sudah dipimpin orang Nias yang lahir di desa tersebut. Jumlah orang Nias di Desa ini dari tahun ke tahun semakin bertambah di desa ini.
Secara perlahan, masyarakat Nias di sini pun mulai melek pendidikan, dan putra-putri Suku Nias yang lahir di Kampung tersebut sudah mulai menuntut ilmu di Kota-Kota besar di Indonesia sampai di perguruan tinggi. Jumlahnya memang masih belum banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Masyarakat Nias di situ. Namun ada kemajuan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Bila pada tahun 1990-an, pemuda-pemuda Suku Nias di Daerah ini masih bermimpi untuk merantau ke pulau-pulau dan hutan rimba untuk menebang kayu, kini pada tahun 2000-an, generasi masyarakat Nias di Kampung ini sudah mulai bermimpi merantau ke kota-kota besar untuk menuntut ilmu.
Generai muda masyarakat nias di kampung tersebut tidak lagi bermimpi meneruskan pekerjaan orang tuanya yang mayoritas sebagai petani karet. Mereka mulai berubah mengikuti perubahan zaman dan berani menatap kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H