Mohon tunggu...
Novendra Cahyo N.
Novendra Cahyo N. Mohon Tunggu... Lainnya - Numpang kerja di Halmahera

Belajar menyampaikan gagasan melalui tulisan. Twitter: @fendra_novendra Email: novendracn11@gmail.com Website: novendracn.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Mahasiswa Tingkat Akhir, Lanjut Kuliah atau Kerja?

21 Mei 2020   10:54 Diperbarui: 29 Mei 2020   01:41 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rilis BPS angka pengangguran pada Februari 2020 sebesar 6,88 juta. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan diploma dan universitas tercatat sebesar 6,76% dan 5,73%.

Tren TPT dalam 3 tahun terakhir cenderung menurun. Namun adanya pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan angka TPT pada setiap jenjang pendidikan.

Sebanyak 50,96% pekerja di Indonesia berlatar belakang pendidikan SD ke bawah. Hal ini disebabkan karakteristik pekerjaan di Indonesia didominasi sektor pertanian dan perdagangan yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi. Di sisi lain TPT lulusan universitas sebesar 5,73% jangan dianggap sepele sebab angkanya nyaris 400.000 orang.

Realita tersebut tentunya membuat tercengang mahasiswa tingkat akhir atau fresh graduate. Data tersebut menunjukkan bahwa tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan.

dokpri
dokpri
Hanya ada dua bahkan tiga pilihan bagi mahasiswa tingkat akhir. Lanjut S2, kerja, atau bahkan menikah. Saat ini tawaran beasiswa begitu banyak. Peluang lanjut S2 secara gratis pun terbuka lebar.

Namun semakin ke sini seleksi atau persaingannya semakin ketat. Mirip dengan dunia kerja, jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pelamar. Tengok saja saat seleksi CPNS, dari tahun ke tahun yang jumlah pelamarnya semakin meningkat.

Hal tersebut semakin menambah kegalauan mahasiswa akhir. Dilema antara kerja atau lanjut kuliah.

Yang memilih lulus langsung kerja akan banyak pertanyaan di benaknya, antara lain: kerja di mana, instansi pemerintah/swasta/mandiri, besaran gaji, jarak dengan tempat tinggal, kesesuaian dengan kompetensi/jenjangstudi.

Begitupula dengan yang berencana lanjut ke S2. Dilema yang mereka hadapi antara lain: beasiswa/mandiri, dalam/luar negeri, apakah akan lolos seleksi.

Yang paling utama adalah apapun yang menjadi pilihan, jalanilah pilihan Anda. Sekarang yang paling penting adalah menyiapkan diri atau memantaskan diri untuk menjemput pilihan tersebut.

Tulisan ini hanya akan mengulas dari perspektif lulus dan memilih kerja. Mengingat penulis mengalaminya langsung. Ada empat tantangan besar saat ini maupun ke depan yang perlu disikapi mahasiswa maupun fresh graduate.

Pertama, pentingnya kemampuan literasi. Literasi tidak hanya dimaknai kemampuan membaca. Namun juga terkait menulis, berbicara, bahkan mendengar serta menyimpulkan.

Kemampuan ini sangat diperlukan di dunia kerja. Ketika pengambilan keputusan perlu cepat, maka kemampuan literasi menjadi penting. Disini saya tidak akan mengulas mendalam. Yang saya tekankan adalah kemampuan menulis.

Ada pendapat yang menyatakan tingkatan intelektualitas tertinggi dimulai dari mendengar, mendengar dan melihat, membaca, kemudian menulis. Menulis perlu menjadi kebiasaan. Tidak sekadar menulis status di media sosial. Namun tulisan yang mampu memberikan informasi atau sikap maupun solusi terhadap suatu topik.

Mengasah kemampuan menulis dapat dilakukan dengan membuat blog/website. Blog dengan trafik tinggi bisa menjadi tambang rupiah. Jejak digital melalui tulisan juga akan mempermudah calon tempat kerja  menilai kita. Terutama buat mereka merasa dirinya pendiam/ introvert.

Kedua, content creator. Beberapa tahun terakhir kita disuguhkan dengan munculnya selebgram dan youtuber yang mayortitas jualan konten. Sebuah peristiwa/produk dikemas sedemikian menarik atau unik agar banyak yang menonton. Dari situ pundi-pundi rupiah akan mengalir.

Content creator sangat diperlukan institusi, baik pemerintah, swasta, maupun individu. Content creator mempunyai peran kehumasan. Humas merupakan wajah dari suatu institusi.

Ketika adanya keterbatasan durasi atau ruang dalam menyampaikan informasi ke publik, maka peran content creator sangat diperlukan. Misalnya hasil penelitian 10 lembar dikemas hanya dalam satu lembar flyer atau video durasi 60 detik.

Tentunya untuk menjadi content creator diperlukan kemampuan mengusasi tool/software/hardware/gadget. Inilah yang perlu diasah dari sekarang. Bisa belajar sendiri  maupun mengikuti short course.

Ketiga, networking dan marketing. Kemampuan dalam menjalin hubungan baik kepada sesama atau institusi sangat diperlukan. Sebagai pekerja di pertanian saya berikan contoh terkait jaringan pemasaran. Permasalahan pertanian ada banyak, dari hulu hingga hilir. Yang akhir-akhir ini mencuat dan acap terjadi adalah jatuhnya harga komoditas (misalnya sayuran dan jagung) di beberapa tempat.

Dengan kita menguasai jaringan pemasaran, misalnya dengan mekanisme pasar lelang diharapkan dapat membantu menjaga harga relatif stabil serta memutus rantai distribusi agar meminimalkan permainan harga.

Penguasaan jaringan pasar tentu akan membuat posisi tawar kita tinggi. Sehingga dapat 'menekan' petani untuk mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) atau Good Practice Prosedur (GAP) dalam melakukan produksi komoditas pertanian yang lebih baik kualitasnya. Penyuluh pertanian yang mengusai jaringan pemasaran akan dimudahkan dalam memberikan materi penyuluhan ke para petani binaanya.

Keempat, pendidikan. Terlepas dari hasil survei BPS diatas, pendidikan penting untuk ditingkatkan. Apabila Anda berkeinginan bekerja menjadi ASN peneliti sekarang syarat minimal harus S2. Bukan tidak mungkin kedepan berbagai jabatan fungsional di Kementerian/Lembaga mensyaratkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Yang tak kalah penting juga perlu meningkatkan kreativitas dan kolaborasi. Apalagi kita disaat pandemi Covid 19 belum usai kita diminta bersiap menghadapi new normal. Tentunya tantangan untuk memulai usaha maupun mencari kerja bisa jadi berbeda.

Namun saya yakin mahasiswa sekarang mempunyai kemampuan untuk menjalaninya. Tempaan tugas, jadwal kuliah, praktikum, organisasi, serta kegiatan non kuliah lagi sejatinya merupakan modal untuk meningkatkan endurance.

Endurance merupakan kemampuan bersikap dalam mencari solusi terhadap tekanan dalam mengemban tugas. Endurance merupakan kombinasi dari kompetensi, kepribadian, dan value yang dimiliki (twitterland)

Sebagai lulusan universitas tentunya banyak ekspektasi baik dari diri sendiri maupun orang sekitar terutama orang tua. Tinggal bagaimana kita mengolah ekspektasi tersebut menjadi energi postitif untuk meraih apa yang selama ini dicita-citakan.

Yang perlu digarisbawahi dalam pencarian pekerjaan adalah tidak selamanya kita langsung mendapatkan pekerjaan yang cocok. Perlu beberapa kali effort untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok dan tentunya nyaman. Kegagalan disatu tempat bisa jadi merupakan batu loncatan untuk menjadi lebih baik di tempat lain

Sekarang yang terpenting bagaimana kita mensyukuri yang sudah didapatkan. Bisa kuliah dan lulus tentunya merupakan capaian yang harus disyukuri.

Orang bijak mengatakan bukankah mensyukuri yang sudah didapatkan lebih penting daripada menggerutui yang hilang atau terlalu memikirkan yang belum didapatkan. Terakhir, saya mengutip nasehat dari dosen saya lagi bahwa tidak ada tempat yang tidak enak setelah bersyukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun