Buruknya pelayanan persampahan di kabupaten dan kota di Indonesia sudah menjadi perihal umum. Sampah-sampah yang ada di perkotaan di Indonesia banyak ditemukan tidak terkelola dengan baik. Semisal, jarangnya Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).Â
Kalaupun ada TPS dan TPST, itu jauh dari kondisi normal yang sesuai peraturan teknis kementerian. Belum lagi, sangat sedikitnya program dan kegiatan untuk 3 R (reduce, reuse dan recycle) untuk masyarakat (umum dan sekolah). Selain itu, hampir semua Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Kabupaten dan Kota masih menggunakan pola open dumping / atau pembuangan sampah di lahan terbuka tanpa proses pemilahan dan pengelolahan yang benar.
Mendapatkan masalah ini semua, serta dengan optimistis untuk kita memperbaikinya, dan juga dalam rangka melengkapi aturan kementerian teknis, dari KLHK dan KPUPR untuk dapat beroperasi di kabupaten dan kota dengan efektif, serta untuk tidak gagapnya dalam mendapatkan potensi pendapatan dari EPR, maka, mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang, Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Persampahan harus, amat, segera diterbitkan kembali.
Kewenangan Pengelolaan PersampahanÂ
Beberapa tahun belakangan, merebaknya arus urbanisasi di Indonesia telah menimbulkan masalah lingkungan. Salah satu isu lingkungan yang amat bahaya adalah terkait dengan buruknya penanganan pengelolaan persampahan perkotaan (kabupaten dan kota). Isu pengelolaan persampahan perkotaan ini, selain berdampak bahaya terhadap lingkungan, juga telah menimbulkan dampak buruk terhadap keadaan sosial dan perekonomian.
Dampak lingkungan yang ada seperti pencemaran udara dari tumpukan sampah yang mengeluarkan gas metan dan air lindi yang belum diproses yang masuk ke dalam tanah (banyak terjadi di open dumping site); serta makin massive-nya pencemaran danau/waduk, sungai dan lautan oleh limbah plastik dan mikroplastik. Untuk dampak sosialnya adalah rendahnya kepedulian / empati warga terhadap keberadaan sampah di sekitar lingkungannya sehingga mengganggu estetika kehidupan sehari-hari.Â
Tersedotnya anggaran pemerintah daerah untuk pengangkutan (dan pemeliharaan) serta tipping fee ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); biaya tambahan untuk pembersihan sampah yang menumpuk di saluran air/kali/sungai; serta dampak ongkos kesehatan akibat sampah merupakan beberapa penyebab-penyebab pembiayaan yang timbul dan berdampak pada masalah keuangan / perekonomian secara keseluruhan.
Seperti kita ketahui semua bahwa pengelolaan persampahan yang sudah menjadi - salah satu - Â pelayanan publik Pemerintah Kabupaten dan Kota ini ditandai dengan diserahkannya kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota, atau yang kerap kita kenal dengan pelaksanaan otonomi daerah.Â
Kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten dan Kota terkait dengan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sub-urusan Persampahan; serta di lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup (LH), Sub-Bagian Persampahan
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah dimulai dari tahun 1999 melalui Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 dengan dibarengi pelaksanaan Undang-Undang (UU) Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah No 23 Tahun 1999. Melalui kedua UU ini, kewenangan Pemerintah Pusat diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta pembiayaan untuk pelaksanaan urusan dari kewenangan yang diberikannya tersebut.Â
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2014 UU Pemerintahan Daerah ini mengalami perubahan yaitu dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, pada prinsipnya semangat untuk pelaksanaan otonomi daerah / pelaksanaan kewenangan lokal atas urusan provinsi dan kabupaten/kota tetap masih ada.