Apa yang saya mau sampaikan disini -- pengelolaan sampah di Kota Surat dan di Kota Portland -- bahwa hak asasi warga untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang bersih dan sehat, sebetulnya terjamin oleh negara-nya, yang dalam hal ini pengelolaannya teknisnya diatur lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten dan kota-nya.Â
Pelayanan pengelolaan sampah oleh pemerintah kota ini merupakan bagian dari pembagian kewenangan untuk urusan pelayanan publik antara Pemerintah Pusat (Federal) dan Kota/County (Kabupaten).
Untuk konteks Indonesia, hak asasi warga negara Indonesia untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang bersih dan sehat, secara hukum telah terjamin di Undang-Undang Dasar 1945 / UUD 45 (Pasal 28 H Ayat 1).
Upaya menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat untuk segenap warga, melalui Undang-Undang (UU) telah diatur secara umum di UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 1999, UU No. 23 Tahun 2014, dan UU No 9 Tahun 2015), khususnya di bagian pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta di UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Di UU No 18 Tahun 2018 ini, secara teknis pengelolaan sampah, baik pengurangan maupun penanganan sampah, merupakan pelayanan yang harus disediakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Turunan dari UU tersebut yaitu, Peraturan Pemerintah (PP) No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga juga telah mengatur peran dan fungsi pemerintah Provinsi serta Kabupaten dan Kota secara lebih detail.Â
Memang jelas bahwa tataran eksekusi untuk pengurangan dan penanganan sampah telah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota. Konsekuensinya, ini menjadi salah satu pelayanan publik, yaitu pelayanan kebersihan sampah.
Bersandar pada realitas hukum / perundang-undangan yang ada, dan melihat praktik penyelenggaraan pengelolaan sampah di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia saat ini, ukuran keberhasilan untuk pengelolaan sampah, yang melandaskan pengurangan (3 R: Reduce, Recycle & Reuse) dan penanganan, dirasa oleh penulis masih amatlah jauh dari penyelenggaran publik yang optimal.
Banyak contoh yang bisa dilihat, dimana penanganan sampah di TPA masih menggunakan pola open dumping. Artinya, praktik pengelolaan sampah mulai dari hulu (pengurangan) itu tidak banyak dilakukan, atau dilakukan tapi tidak maksimal oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota.Â
Dari sisi hilir, absennya penanganan sampah seperti pemilahan dan pemrosesan, sehingga, sampah begitu saja diangkut dari perumahan/perkantoran/sekolah, dll ke TPA. Sampah yang diangkut ini masih tercampur antara organic dan non organic yang ini menyulitkan pemilahan apabila untuk dilakukan pemrosesan sampah melalui waste gasification method atau thermal processing.Â
Bahkan kerap kali penulis menemukan (melihat langsung) tidak jauh dari tempat tinggal penulis (kota Tangerang), maupun di kota terdekat lainnya, tumpukan sampah di pinggiran jalan, diletakan begitu saja persis didepan lahan-lahan kosong yang dipagari (baik itu lahan kosong milik swasta maupun bukan swasta).Â
Dugaan penulis, ini menandakan: 1) jadwal pengumpulan sampah secara regular belum diterapkan optimal, 2) wadah untuk pengumpulan (truk) / jumlah armada truk tidak sebanding dengan jumlah sampah dari warga, atau 3) tidak adanya tempat pengumpulan sampah sementara terpadu disekitar perumahan warga. Â