Selanjutnya daiches mengatakan bahwa para ahli sosiologi dapat memberikandata tentang latar belakang sosial penciptaan puisi modern yang remang-remang itu, namun data itu sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan nilai keremang-remangan puisi itu sendiri. Serangan Daiches tidak berhenti sampai disitu saja, persoalan yang ditampilkannya kemudian adalah hubungan antara nilai sosiologis dan nilai sastra. Dauches beranggapan bahwa pendekatan sosiologis itu pada hakikatnya merupakan pendekatan genetik: pertimbangan karya sastra dari segipandangan asal-usulnya, baik yang bersifat sosial maupun individual-atau kedua-duanya.
Apabila seorang kritikus meja menganggap sebuah meja buruk setelah ia diberitahu bahwa meja itu dibuat dibawah kondisi yang tak disukainya, maka jelas bahwa ia tidak menilai meja sebagai meja, tetapi sebagai produk sosial. Dan kalau ia masih saja beranggapan bahwa telah menilai meja itu sebagai meja, jelas bahwa pikirannya kacau.
Swingewood mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekedar bahan sampingan saja. Diingatkannya bahwa dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “sastra adalah cerminan masyarakat”. Selanjutnya diingatkannya bahwa slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cermin masyarakatnya, apakah pencerminan itu tidak usak oleh penggunaan alat-alat sastra itu secara murni?.
Teori sastra sebenarnya sudah diketengahkan orang sejak sebelum masehi. Sudah sewajarnya apabila sastra, yang pada awal perkembangan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial, dianggap sebagai unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakatnya. Menurut Plato, segala arah yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.dalam dunia gagasan itu ada satu manusia, dan semua manusia yang ada di dunia adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Dalam teorinya itu juga disebut-sebut tentang tiga macam “seniman”: pengguna, pembuat, dan peniru. Pengguna memberi petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu, yang kemudian ditiru oleh penirtu. Dari urutan itu jelas bahwa yang tertinggi nilainya menurut Plato adalah pengguna, yang nomor dua pembuat, dan nomor tiga peniru.
Meskipun teori filsuf ini kemudian dirobohkan oleh beberapa penulis sasudahnya, antara lain oleh Aristoteles yang hidup beberapa puluh tahun kemudian, Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya. Juga harus diakui bahwa beberap teori modern tentang hubungan sastra dan masyarakat masih ada kaitannya dengan beberapa pandangan dasar yang disodrokan oleh filsuf itu, antara lain yang menyangkut kecurigaan terhadap sastrawan khusunnya dan seniman umumnya.
Aspek sosiologis yang ada dalam terbagi menjadi empat yakni: 1. Sosiologi pengarang; 2. Sosiologi karyanya; 3. Sosiologi pembacanya; 4. Sosiologi penerbit. Essai brikut ini lebih berfokus kepada sosiologis pengarang pada karyanya.
Menurut Plato penulis adalah seorang imitator yang mengimitasi suatu fenomena sosial. Muridnya Aristoteles mengkritik tanggapan tersebut dia beranggapan bahwa sebuah tiruan tidak akan seindah yang aslinya maka dari itu, penulis tidak semata-mata hanya meniru saja namun ada suatu proses kreatif didalamnya.
Penulis di jaman romantik menjadi sesuatu yang spesial disebabkan kaum romantik menganggap pengarang sebagai nabi, dewa-dewi bahkan disebut sebagai the creator atau yang membuat (dalam hal ini adalah tuhan). Karena karyanya yang mengambil realitas sosial yang ada.
Munculnya kaum formalis seperti Mikail Bakhtin membuat munculnya era kritik sastra baru. Kaum formalis beranggapan bahwa karya sastra hanya persoalan yang ada di teksnya saja atau karyanya saja tanpa adanya campur tangan dari penulis. Kemudian psikolog Sigmon freeud berpendapat bahwa penulis itu adalah tentang kejiwaan proses terlibatnya imajinasi harus dibayar dengan kejiwaan penulis tersebut. Tokoh-tokoh yang ada dalam teori neurosis sigmon freud adalah tokoh-tokoh abdnormal. Sebagai contohnya karya-karya Iwan simatupang yang mengandung keabsurdan yang tinggi.
Perantara seperti penerbit, distributor, kritikus, pelanggan atau sponsor, dan perpustakaan umum. Sosiologi penulis mempelajari pengaruh sosial terhadap penulis dan karyanya. Hal ini memberikan petunjuk terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas ketertarikan penulis terhadap bentuk sastra tertentu, asal-usul dan status sosial penulis, ideologi sosialnya, tujuan sosial karyanya, latar belakang keluarganya, posisi ekonomi penulis, kesetiaan sosial, sikap dan ideologi penulis, serta peran patron dalam kehidupan mereka.
Sebagai contoh kasus didalam novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi menceritakan tentang 5 orang santri yang ingin mewujudkan impiannya menaklukkan dunia. Ternyata kisah ini diambil dari kisah nyata penulisnya sendiri yang bersama teman-teman pondoknya ingin menaklukkan dunia namun tak tercapai. Dibalik persepsi masyarakat yang mengagungkan karya tersebut mengandung sakralitas simbol lingga dan yoni. Symbol-simbol menara yang digambarkan pada cover buku tersebut adalah mengandung arti kemaskulinitasan. Bahwa hanya laki-laki saja yang berhak mencapai capaian itu dan perempuan tak memiliki kesempatan untuk menggapainya. Hal ini terbukti juga bahwa pengarang perempuan membuat karya yang hampir keseluruhan mengisahkan perempuan yang dalam tanda kutip “jalan-jalan” saja tanpa menggapai apapun.