Sosiologi sastra merupakan jenis keilmuan interdisipliner dari dua keilmuan yang berbeda yang masing-masing dapat berdiri sendiri yakni sosiologi dan sastra. Sosiologi sendiri merupakan fokus keilmuan yang mepelajari tentang kemasyarakatan, proses sosial serta perubahannya. Singkatnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam konteks sosial. Sastra adalah karya seni yang menggunakan Bahasa sebagai medium utamanya. Bahasa dalam sastra tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk menciptakan keindahan, mengungkapkan emosi, pikiran dan pengalaman manusia.
Beberapa ahlipun beranggapan tentang sosiologi sastra seperti wallek dan Warren kedua ahli ini memandang sosiologi sastra sebagai ilmu sempit dan eksternal. Mereka membagi sosiologi sastra menjadi dua: sosiologi pengarang (memasalahkan status sosial, ideologi, dll) dan sosiologi karya sastra (memasalahkan karya sastra itu sendiri) atau pendapat menurut Ian Watt memiliki pendekatan yang lebih luas. Ia melihat sosiologi sastra mencakup konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin Masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam sosiologi sastra yang pertama konteks sosial pengarang, hubungan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan Masyarakat pembaca. Termasuk juga dengan factor-faktor lainnya seperti riwayat pendidikan sang penulis, riwayat pekerjaan sang penulis, ideologi sang penulis, apakah penulis tersebut pernah diberikan bantuan oleh kelompok sosial tertentu, dan tujuan market mana yang dituju sang penulis.
Sastra sebagai cerminan masyarakat adalah faktor yang kedua, ciri-ciri kemsyarakatan yang ditulis oleh penulis mungkin sudah tidak relevan lagi pada saat ia menulis karya tersebut, konsep “lain dari yang lain” seorang pengarang mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karangannya, genre yang dipilih hanya dapat mewakili suatu kelompok dan bukan mewakili seluruh sikap sosial.
Fungsi sosial sastra adalah yang terakhir, pendapat orang terhadap karya sastra pasti berbeda-beda ada yang berpaham romantik yang beranggapan bahwa sastra sama sejajarnya dengan karya pendeta. Kaum lainnya berpendapat pula bahwa sastra itu merupakan sebuah karya yang “seni untuk seni” taka da dengan praktek kapitalisme dalam penjualan buku dan sebagai kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: karya sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Grebtein setelah membicarakan secara singkat apa yang dilakukan pada kritikus sosio-kultural, beliau membuat Kesimpulan sebagai berikut:
Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakekatya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan seseorang. Karya sastra lebih dari sekedar karya yang estetis. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan.
Perbedaan sastra dan sosiologi bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang obyektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sedangkan bila seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu Masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati Masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang. Karena persamaan obyek yang digarap pada akhirnya nanti sosiologi akan dapat mengganti kedudukan novel.
Meskipun kedua keilmuan tersebut dapat dibedakan namun keduanya memiliki satu keharmonisan dan saling melengkapi, banyak ahli pada zaman dahulu yang mencoba menyinggung soal sastra namun mereka masih melihat sastra sebagai bahan untuk menyelidiki struktur sosial. Seiring berkembangnya zaman kini ilmu sosiologi tumbuh menjadi banyak cabang keilmuan yang lain sosiologi gama, sosiologi Pendidikan, sosiologi politik, sosiologi ideologi, sosiologi sastra sendiri muncul sangat terlambat hingga saat ini kita akui bahwa sosiologi sastra belum sepenuhnya merupakan suatu himpunan keilmuan yang mapan. Barangkali kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa yang dihadapi sosiologi sastra adalah unikum yang biasa didekati dengan cara yang sangat subyektif.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin jamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan Sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya.
Wellek dan Weren mengkritik pedas pendekatan ekstrinsik itu dikatakan bahwa biasanya masalah seputar “sastra dan masyarakat” bersifat sempit dan eksternal. Pertanyaan yang ditampilkannya biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial dan politik. Wellek dan Weren kemudian mengatakan bahwa tidaklah jelas pengertiannya apabila dikatakan bahwa sastra mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan. Keberatan yang diajukan Wellek dan Weren jelas didasarkan pada anggapan dan Kesimpulan bahwa pendekatan sosiologis terhadap sastra bersifat sempit-sastra dilihat lewat kaca mata ideologis tertentu dalam hal ini marxisme. Mereka juga tidak percaya bahwa sastra dapat ditelaah dengan menggunakan “Masyarakat luar” sebagai ukuran dan sekaligus tujuannya.
Selanjutnya daiches mengatakan bahwa para ahli sosiologi dapat memberikandata tentang latar belakang sosial penciptaan puisi modern yang remang-remang itu, namun data itu sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan nilai keremang-remangan puisi itu sendiri. Serangan Daiches tidak berhenti sampai disitu saja, persoalan yang ditampilkannya kemudian adalah hubungan antara nilai sosiologis dan nilai sastra. Dauches beranggapan bahwa pendekatan sosiologis itu pada hakikatnya merupakan pendekatan genetik: pertimbangan karya sastra dari segipandangan asal-usulnya, baik yang bersifat sosial maupun individual-atau kedua-duanya.
Apabila seorang kritikus meja menganggap sebuah meja buruk setelah ia diberitahu bahwa meja itu dibuat dibawah kondisi yang tak disukainya, maka jelas bahwa ia tidak menilai meja sebagai meja, tetapi sebagai produk sosial. Dan kalau ia masih saja beranggapan bahwa telah menilai meja itu sebagai meja, jelas bahwa pikirannya kacau.
Swingewood mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekedar bahan sampingan saja. Diingatkannya bahwa dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “sastra adalah cerminan masyarakat”. Selanjutnya diingatkannya bahwa slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cermin masyarakatnya, apakah pencerminan itu tidak usak oleh penggunaan alat-alat sastra itu secara murni?.
Teori sastra sebenarnya sudah diketengahkan orang sejak sebelum masehi. Sudah sewajarnya apabila sastra, yang pada awal perkembangan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial, dianggap sebagai unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakatnya. Menurut Plato, segala arah yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.dalam dunia gagasan itu ada satu manusia, dan semua manusia yang ada di dunia adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Dalam teorinya itu juga disebut-sebut tentang tiga macam “seniman”: pengguna, pembuat, dan peniru. Pengguna memberi petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu, yang kemudian ditiru oleh penirtu. Dari urutan itu jelas bahwa yang tertinggi nilainya menurut Plato adalah pengguna, yang nomor dua pembuat, dan nomor tiga peniru.
Meskipun teori filsuf ini kemudian dirobohkan oleh beberapa penulis sasudahnya, antara lain oleh Aristoteles yang hidup beberapa puluh tahun kemudian, Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya. Juga harus diakui bahwa beberap teori modern tentang hubungan sastra dan masyarakat masih ada kaitannya dengan beberapa pandangan dasar yang disodrokan oleh filsuf itu, antara lain yang menyangkut kecurigaan terhadap sastrawan khusunnya dan seniman umumnya.
Aspek sosiologis yang ada dalam terbagi menjadi empat yakni: 1. Sosiologi pengarang; 2. Sosiologi karyanya; 3. Sosiologi pembacanya; 4. Sosiologi penerbit. Essai brikut ini lebih berfokus kepada sosiologis pengarang pada karyanya.
Menurut Plato penulis adalah seorang imitator yang mengimitasi suatu fenomena sosial. Muridnya Aristoteles mengkritik tanggapan tersebut dia beranggapan bahwa sebuah tiruan tidak akan seindah yang aslinya maka dari itu, penulis tidak semata-mata hanya meniru saja namun ada suatu proses kreatif didalamnya.
Penulis di jaman romantik menjadi sesuatu yang spesial disebabkan kaum romantik menganggap pengarang sebagai nabi, dewa-dewi bahkan disebut sebagai the creator atau yang membuat (dalam hal ini adalah tuhan). Karena karyanya yang mengambil realitas sosial yang ada.
Munculnya kaum formalis seperti Mikail Bakhtin membuat munculnya era kritik sastra baru. Kaum formalis beranggapan bahwa karya sastra hanya persoalan yang ada di teksnya saja atau karyanya saja tanpa adanya campur tangan dari penulis. Kemudian psikolog Sigmon freeud berpendapat bahwa penulis itu adalah tentang kejiwaan proses terlibatnya imajinasi harus dibayar dengan kejiwaan penulis tersebut. Tokoh-tokoh yang ada dalam teori neurosis sigmon freud adalah tokoh-tokoh abdnormal. Sebagai contohnya karya-karya Iwan simatupang yang mengandung keabsurdan yang tinggi.
Perantara seperti penerbit, distributor, kritikus, pelanggan atau sponsor, dan perpustakaan umum. Sosiologi penulis mempelajari pengaruh sosial terhadap penulis dan karyanya. Hal ini memberikan petunjuk terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas ketertarikan penulis terhadap bentuk sastra tertentu, asal-usul dan status sosial penulis, ideologi sosialnya, tujuan sosial karyanya, latar belakang keluarganya, posisi ekonomi penulis, kesetiaan sosial, sikap dan ideologi penulis, serta peran patron dalam kehidupan mereka.
Sebagai contoh kasus didalam novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi menceritakan tentang 5 orang santri yang ingin mewujudkan impiannya menaklukkan dunia. Ternyata kisah ini diambil dari kisah nyata penulisnya sendiri yang bersama teman-teman pondoknya ingin menaklukkan dunia namun tak tercapai. Dibalik persepsi masyarakat yang mengagungkan karya tersebut mengandung sakralitas simbol lingga dan yoni. Symbol-simbol menara yang digambarkan pada cover buku tersebut adalah mengandung arti kemaskulinitasan. Bahwa hanya laki-laki saja yang berhak mencapai capaian itu dan perempuan tak memiliki kesempatan untuk menggapainya. Hal ini terbukti juga bahwa pengarang perempuan membuat karya yang hampir keseluruhan mengisahkan perempuan yang dalam tanda kutip “jalan-jalan” saja tanpa menggapai apapun.
Atau dalam film The Dark Knight pemeran joker Heath Ledger yang bunuh diri akibat terlalu mendalami perannya tersebut hingga terbawa hingga ke kehidupan asli. Atau kisah Virgina Woolf Virginia Woolf, Penulis London lahir tahun 1882, meninggal karena tenggelam, tenggelam yang disebabkan oleh dirinya sendiri dan dilaporkan sebelumnya di a naskah yang ditujukan kepada suaminya Leonard. Virginia pada saat itu mengalami apa yang sekarang dikenal sebagai gangguan bipolar dan juga tenggelam dalam depresi hebat.
Karena setiap penulis adalah bagian dari masyarakat, biografinya dapat dipelajari untuk menafsirkan relevansi sosial dari karya sastra. Studi biografi memberikan penjelasan tentang asal-usul sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi penulis. Namun, Rene Wellek dan Austin Warren, mengajukan pertanyaan: 'Apakah asal-usul sosial menentukan ideologi dan kesetiaan sosial? Mereka berpendapat bahwa asal-usul sosial seorang penulis hanya memainkan peran kecil dalam produksi sastra. Sebagai contoh, di luar Rusia, sebagian besar penulis komunis tidak berasal dari kalangan proletar. Dengan cara yang sama dengan beberapa pengecualian, semua penulis Rusia modern sebelum Chekhov berasal dari kalangan bangsawan. Namun, ideologi para penulis dan pandangan sosial dan politik mereka memainkan peran penting dalam kreativitas para penulis. Masalah ideologi ini mengarah pada sosiologi penulis sebagai suatu tipe atau jenis pada waktu dan tempat tertentu. Sosiologi penulis juga mempelajari peran patron, respon audiens, peran kritikus, kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi penulis, dan sistem penghargaan.
Sejarah sastra menunjukkan bahwa para seniman atau penulis pada tahap awal sangat bergantung pada dukungan para patron dan publik. Sebagai contoh, para penulis klasik besar seperti Virgil, Horace, dan Ovid bergantung pada karunia dan kebaikan hati Augustus dan Maecenas. Peran raja-raja ini telah digantikan oleh para penerbit di zaman modern. Seperti halnya penerbit, audiens juga memainkan peran penting dalam kebangkitan penulis dan karyanya. Menurut Wellek dan Warren, "sebuah studi tentang dasar ekonomi dari sastra dan status sosial dari penulis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang pembaca yang ditujunya dan yang menjadi tempat ia bergantung secara finansial.” Mereka juga menunjukkan bahwa ketergantungan penulis pada audiens lebih banyak terjadi pada masyarakat sebelumnya. Karya-karya penulis tidak akan pernah disebarkan kecuali jika itu menyenangkan audiens. Namun, hubungan penulis-penonton ini terpengaruh ketika perantara lain seperti kritikus, sensor, dan media meningkat. Seperti halnya perantara-perantara ini, pemerintah juga mendukung dan menumbuhkan sastra dengan menawarkan berbagai fasilitas kepada para penulis. Pada kenyataannya, penyebab paling jelas dari sebuah karya sastra adalah penciptanya, dan oleh karena itu diskusi tentang kehidupan dan kepribadian penulis sangat penting untuk studi karya sastra. Selain sosiologi penulis, patronase dan sistem penghargaan memainkan peran penting dalam pengembangan kreativitas penulis.
Daftar Pustaka:
Damono, S. D. (1978). Sosiologi sastra: Sebuah pengantar ringkas. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H