Mohon tunggu...
novance silitonga
novance silitonga Mohon Tunggu... Penulis - senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Merayakan Waisak Merayakan Pluralisme

16 Mei 2022   22:36 Diperbarui: 16 Mei 2022   22:41 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merayakan Waisak Merayakan Pluralisme

Pluralisme Indonesia sudah dianggap sebagai sebuah keniscayaan dan anugerah. Indonesia sudah semestinya begitu (take for granted) dari yang Maha Kuasa. 

Barangkali hanya membuang waktu saja jika sebagai anak bangsa kita selalu berwacana mayoritas dan minoritas dalam setiap perilaku kehidupan kebangsaan. 

Toh mayoritas dan minoritas ini hanya sebuah jargon politik yang peruntukannya cenderung hanya di wilayah pertarungan kekuasaan. Untuk menghadirkan kesejahteraan umat dalam semua aspek hidupnya,  wacana mayoritas dan minoritas ini hampir tak berarti apapun. Perlakuan diskriminatif bisa bersumber dari wacana ini dan tak jarang pula memproduksi konflik baik laten maupun manifes.

Diskursus mayoritas minoritas masih sering muncul di level grassroot. Masyarakat lebih suka berbicara perbedaan daripada persamaan. Dengan mengetahui kita di posisi mayoritas atau minoritas tampak seakan diberi posisi untuk berperilaku. 

Misal, jika seseorang diposisikan sebagai kelompok minoritas maka sebaiknya tau diri, nrimo dan tidak memaksakan kehendak dan sebaliknya mayoritas menjadi posisi yang terkesan superior, pemilik klaim kebenaran dan susah dikritik. Namun sebenarnya itu hanyalah sebuah kesan yang tercitra dan belum tentu menggambarkan potret yang utuh. 

Ada apa dengan Pluralisme?

Tentang pluralisme di Indonesia, Nurcholish Madjid pernah mengingatkan bahwa keanekaragaman suku dan agama yang dimiliki bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang layak dibangga-banggakan. 

Itu tidak unik, apalagi istimewa, dan bukan hanya dimiliki Indonesia, walaupun menurut Ahmad Syafii Maarif bahwa hanya Indonesia satu-satunya di dunia bangsa yang sangat besar yang tingkat pluralisme begitu sangat tinggi.

Mungkin Madjid benar bahwa pluralisme tak layak dibanggakan, namun kita tidak perlu anti terhadapnya. Anti pluralisme merupakan sebuah pemikiran yang menjauhi nilai nilai adab yang maju karena sejatinya tidak mungkin segala sesuatunya homogen.

Mengingat pluralisme adalah wajah Indonesia, maka menjadi orang Indonesia semestinya menjadi pluralis pula. Jika kita mengingkari pluralitas di tengah-tengah kehidupan kita maka kita pun secara sadar mengingkari ke-Indonesia-an kita. 

Pluralitas mengajari kita saling menghargai perbedaan. Pluralitas dimaknai sebagai penyatuan didalam perbedaan sosial yang ada di tengah-tengah kehidupan.

Aceh menjadi kota yang homogen karena umat Islam memenuhi sudut-sudut kota dan perda-perda Islam dijalankan di sana,  tetapi Gereja masih berdiri dan dilindungi di sana. Begitu pula Tapanuli Utara didominasi oleh umat Nasrani dan Masjid hadir ditengah-tengah kehidupan mereka.

Candi-candi bercorak Buddha yang terletak di Jawa Tengah tetap berdiri dan dilindungi, meskipun statistik tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah umat Buddha paling sedikit di Jawa Tengah dibanding wilayah-wilayah lainnya di Indonesia seperti di DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Umat Hindu di Bali melindungi mereka yang berkeyakinan lain.

Tampaknya semua ini memang menunjukkan bahwa Indonesia dan pluralisme tidak menyoal satu dengan yang lain. Keduanya menjadi bagian yang tidak mungkin dan tidak akan dapat dipisahkan. Perbedaan itu dapat disatukan dan diterima dengan penuh kemauan dan kesadaran. 

Hari ini tepatnya 16 Mei 2022, umat Buddha merayakan Waisak melalui peristiwa agung yang disebut Trisuci Waisak. Simbol keagungan yang membawa penerangan bagi umatnya dan sebenarnya juga ditujukan bagi semua umat Tuhan yang mencintai perdamaian.

Merayakan Waisak sejalan dengan merayakan pluralisme di Indonesia. 

Novance Silitonga adalah peneliti di Populus Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun