Mohon tunggu...
novance silitonga
novance silitonga Mohon Tunggu... Penulis - senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku dan Kita

27 April 2022   15:08 Diperbarui: 27 April 2022   15:11 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

---Buku menghadirkan dunia dalam diri, membuat hati teduh dan membawa hidup lebih bermakna. Bacalah buku, dia akan  mengatakan sesuatu---

Hampir semua orang mengenal buku namun tidak semua orang mencintainya. Buku dikenal karena kemampuannya membawa ilmu dan pengetahuan walau terkadang dihindari karena sulit dipahami. 

Buku sangat dekat dengan dunia pendidikan dan intelektualitas. Saya teringat ketika pertama sekali memasuki dunia pascasarjana di perguruan tinggi, seorang dosen yang terkenal kutu buku dan baru saja menyelesaikan pendidikan doktornya di salah satu Universitas terbaik di Australia mengatakan kepada seisi kelas "berapa buku yang sudah kalian baca?" 

Dan ketika salah satu mahasiswa mengajaknya berdebat tentang satu "materi kuliah" dan perdebatan berlangsung cukup lama,  lantas dosen itu kembali bertanya "sudah berapa banyak buku yang kau punya tentang materi ini dan anda sudah baca?" Perdebatan berhenti dengan sendirinya dan mahasiswa lainnya hanya bisa tersenyum.

Buku Simbol Intelektualitas?

Jika mencermati perdebatan diatas, barangkali kita terpancing untuk merenung, apakah dengan memiliki dan membaca buku, maka citra intelektual  dengan sendirinya melekat pada diri kita? Semakin banyak buku yang dimiliki semakin kuat kadar keilmuan atau kepintaran kita? 

Apakah semua buku layak dibaca dan punya kadar intelektualitas yang kuat? Atau sepenting apa upaya kita memilih buku-buku yang hendak dibaca? apakah semua buku layak dibaca? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini setidaknya membantu memahami arti sebuah buku dalam hidup kita.

Pertama kita perlu paham, apa itu buku? apakah buku punya klasifikasi? Buku adalah sarana belajar yang digunakan di sekolah dan perguruan tinggi yang bertujuan untuk menunjang pembelajaran (Buckingham 1958). Buku adalah rekaman pikiran secara rasional (Hall-Quest). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku adalah helai kertas berjilid yang berisikan tulisan untuk dibaca atau kosong untuk ditulis.

Merujuk pada berbagai pengertian diatas lantas  kita berfikir seharusnya buku menjadi media yang ditulis oleh penulis baik perorangan ataupun kelompok yang berisi ilmu dan pengetahuan yang ditulis dan disusun secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan. 

Namun faktualnya, jika kita jeli mencermati buku yang kita baca, tak jarang kita menjumpai buku tersebut hanya berisi informasi yang sebenarnya kita dengan mudah mendapatkannya di berbagai sumber media online atau internet. 

Substansi penulisan buku tidak didasarkan pada analisis terhadap hal yang sedang dibahas melainkan lebih kepada mencomot berita dan opini dari media. Sebagai seorang yang suka membaca (walaupun tidak tergolong kutu buku) saya sering sekali menemukan bahasa yang sama antara apa yang tertulis di media online  dengan yang ditulis dalam buku.

Dugaaan pun muncul, bahwa penulis hanya sekedar melakukan tindakan kreatif dengan menyusun berbagai informasi dari media online dan menyajikannya dalam bentuk sebuah buku. 

Buku dengan tipikal seperti ini menurut saya tidak layak untuk dikoleksi walaupun tidak serta merta kita katakan sebagai buku yang buruk. Berkenaan dengan ini, saya meyakini pula, penerbit-penerbit buku yang punya wibawa dan pengalaman panjang dalam dunia penerbitan buku, tidak akan bersedia menerbitkan buku yang isinya hanya sekedar copy paste. 

Lantas kembali ke pertanyaan, apakah buku dengan sendirinya menjadi sebuah simbol dalam menjelaskan intelektualitas seseorang? Jika membaca buku yang berkualitas maka iya, ia akan menambah ketebalan intelektualitas kita yang membacanya. 

Bagaimana  menilai buku yang berkualitas? Jika ia punya originalitas pemikiran dan memiliki kebaruan (novelty), ditulis dengan menggunakan kaidah penulisan yang standar, penggunaan metodologi  yang jelas dan seluruh referensi yang digunakan berasal dari sumber-sumber penelitian, paling tidak 5 tahun terakhir. Buku dengan syarat-syarat demikian dipastikan buku yang berbobot.

Mengingat kembali pertanyaan dosen diatas " sudah berapa banyak buku yang anda baca?" Saya hanya ingin menambahkan bahwa dosen tersebut sejatinya ingin bertanya dengan  pertanyaan yang lebih lengkap yaitu sudah berapa banyak buku berkualitas yang anda baca dan stop membaca semua buku, sebab tidak semua buku yang layak untuk dibaca.

Kebiasaan Membaca Buku.

Indonesia disebut sebagai negara dengan warga negara yang minat bacanya sangat rendah. Setidak-tidaknya data UNESCO tahun 2020 secara implisit menyebutkan demikian. Saya ingin menyalin tulisan Rachmawati dari Komunitas Baca Ruma Luwu. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. 

Riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 9 provinsi yang masuk dalam aktivitas literasi sedang, 24 provinsi masuk dalam literasi rendah, dan satu provinsi masuk dalam kategori literasi sangat rendah. Sulsel sendiri duduk di kursi 11 dengan nilai indeks 38,82. Sementara itu untuk indeks dimensi budaya, di mana mencakup soal kebiasaan membaca, maka Sulsel juga berada di zona rendah dengan poin indeks 27,94. 

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang positif antara minat baca dengan kebiasaan membaca dan kemampuan membaca. Rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia tentu menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah akan berdampak pada kemampuan membaca yang pastinya juga rendah.

Rachmawati menjelaskan kepada kita bahwa jangankan punya kebiasaan membaca, minat untuk membaca saja kita tidak punya. Jika minat tidak muncul tentu sulit menumbuhkan sebuah kebiasaan. Artinya kita malas membaca. Barangkali lebih suka mendengar dan menonton. Tentang ini saya tidak berani menilai, tetapi soal malas membaca tentu  ini sebuah perilaku yang sudah dari dulu muncul.

Mengapa kita malas membaca? Perusahaan Gramedia, salah satu penerbit dan toko buku terbesar di Indonesia menyatakan bahwa kemalasan ini disebabkan karena kita adalah generasi yang serba instan. Saya pikir masuk akal. Hal-hal instan membuat kita malas berfikir apalagi berkontemplasi. 

Kita lebih nyaman pada hasil daripada proses. Kita malas membaca tetapi berisik di media sosial. Hal ini semakin diperparah ketika kita semua masuk pada era post-truth, era dimana kebenaran dan fakta bukan hal yang penting tetapi afirmasi dan dukungan atas keyakinan kita sendiri. Kita hanya perlu dukungan untuk keyakinan kita bukan mencari fakta dan data atas keyakinan kita itu.

Kok Harus Membaca Buku?

Faktanya ada diantara kita yang mampu membaca buku dengan waktu yang cukup lama. Standar orang membaca buku menurut UNESCO adalah 4-6 jam dalam sehari. Di negara-negara maju kebiasaan membaca buku ini lebih lama lagi, bisa mencapai 6-8 jam dalam sehari. 

Tahun 2015 Perpustakaan Nasional pernah melakukan kajian bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk membaca sekitera 2-4 jam dan masih dibawa standar UNESCO. Seorang teman pernah bercerita sama saya konon katanya Profesor yang mengajar di sekolah sekolah filsafat bisa membaca buku dari 8-10 jam sehari.

Hal menarik perlu diketahui yaitu alasan terkuat orang harus membaca buku? Urusan membaca buku bukan urusan kaum schollar atau kaum terdidik dan terpelajar saja melainkan urusan semua kaum. 

Studi yang dilakukan teramat panjang terhadap mereka yang gemar membaca buku yaitu mampu meningkatkan fokus (konsentrasi), ingatan (memory), empati dan kemampuan komunikasi. Semua ini akan membantu kita berhasil dalam membina hubungan dengan sesama dan dalam dunia pekerjaan

Semua kita ingin berhasil dalam hidup dan tak satupun yang mengingkari ini. Membaca buku menjadi prasyarat untuk meraih keberhasilan itu semua. Inilah mengapa membaca buku menjadi sebuah kebutuhan. Karena ia merupakan kebutuhan maka ia menjadi bagian dalam hidup kita. Ya. Buku adalah kebutuhan kita.

Novance Silitonga adalah peneliti di Populus Indonesia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun