Dugaaan pun muncul, bahwa penulis hanya sekedar melakukan tindakan kreatif dengan menyusun berbagai informasi dari media online dan menyajikannya dalam bentuk sebuah buku.Â
Buku dengan tipikal seperti ini menurut saya tidak layak untuk dikoleksi walaupun tidak serta merta kita katakan sebagai buku yang buruk. Berkenaan dengan ini, saya meyakini pula, penerbit-penerbit buku yang punya wibawa dan pengalaman panjang dalam dunia penerbitan buku, tidak akan bersedia menerbitkan buku yang isinya hanya sekedar copy paste.Â
Lantas kembali ke pertanyaan, apakah buku dengan sendirinya menjadi sebuah simbol dalam menjelaskan intelektualitas seseorang? Jika membaca buku yang berkualitas maka iya, ia akan menambah ketebalan intelektualitas kita yang membacanya.Â
Bagaimana  menilai buku yang berkualitas? Jika ia punya originalitas pemikiran dan memiliki kebaruan (novelty), ditulis dengan menggunakan kaidah penulisan yang standar, penggunaan metodologi  yang jelas dan seluruh referensi yang digunakan berasal dari sumber-sumber penelitian, paling tidak 5 tahun terakhir. Buku dengan syarat-syarat demikian dipastikan buku yang berbobot.
Mengingat kembali pertanyaan dosen diatas " sudah berapa banyak buku yang anda baca?" Saya hanya ingin menambahkan bahwa dosen tersebut sejatinya ingin bertanya dengan  pertanyaan yang lebih lengkap yaitu sudah berapa banyak buku berkualitas yang anda baca dan stop membaca semua buku, sebab tidak semua buku yang layak untuk dibaca.
Kebiasaan Membaca Buku.
Indonesia disebut sebagai negara dengan warga negara yang minat bacanya sangat rendah. Setidak-tidaknya data UNESCO tahun 2020 secara implisit menyebutkan demikian. Saya ingin menyalin tulisan Rachmawati dari Komunitas Baca Ruma Luwu. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.Â
Riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 9 provinsi yang masuk dalam aktivitas literasi sedang, 24 provinsi masuk dalam literasi rendah, dan satu provinsi masuk dalam kategori literasi sangat rendah. Sulsel sendiri duduk di kursi 11 dengan nilai indeks 38,82. Sementara itu untuk indeks dimensi budaya, di mana mencakup soal kebiasaan membaca, maka Sulsel juga berada di zona rendah dengan poin indeks 27,94.Â
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang positif antara minat baca dengan kebiasaan membaca dan kemampuan membaca. Rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia tentu menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah akan berdampak pada kemampuan membaca yang pastinya juga rendah.
Rachmawati menjelaskan kepada kita bahwa jangankan punya kebiasaan membaca, minat untuk membaca saja kita tidak punya. Jika minat tidak muncul tentu sulit menumbuhkan sebuah kebiasaan. Artinya kita malas membaca. Barangkali lebih suka mendengar dan menonton. Tentang ini saya tidak berani menilai, tetapi soal malas membaca tentu  ini sebuah perilaku yang sudah dari dulu muncul.